Oleh St Eries Adlin
TENTANGKITA.CO, JAKARTA — “Ah Abang ngelawak, kayak Cing Abdel aja,” begitu seloroh Arief, teman kerja di kantor lama saya.
Komentar jurnalis di Bisnis Indonesia itu muncul sehabis saya bercerita hal-ihwal kucing kami di rumah beberapa tahun silam.
“Piku, kucing di rumah gue inget kan?” tanya saya kepada Arief yang langsung menjawab dengan anggukan.
“Lagi hamil dia. Dibawa Mbak Ririn (istri saya) ke dokter hewan. Masak kucing pake ditensi tekanan darahnya, terus pake di USG segala….”
“Hahaha bisa aje lo Bang. Jangan-jangan ntar pas ngelahirin Piku harus operasi caesar,” kata Arief yang jelas takut saya bohongin.
“Lah, emang kayak gitu Rief. Kata dokternya Piku harus caesar karena kondisi fisiknya gak bagus. Harus cek darah lengkap!” saya kasih penjelasan ketika itu.
Nah, kalimat pembuka tulisan inilah yang jadi kesimpulan Arief atas cerita saya tentang Piku. Intinya, dia gak percaya. 100%.
Saya keluarkan telepon pintar dari kantong baju. Pesan singkat via WhatsApp dari Ibu Negara, begitu teman-teman sering menyebut Ririn, istri, saya kasih lihat ke wartawan satu itu.
“Waduh, repot juga ya Bang melihara binatang,” kata penggemar berat AC Milan itu.
Bener Bro! Selain repot, harus ada pundi-pundi yang kita siapin untuk merawat mereka. Tapi ya gitu deh, namanya orang suka.
Tapi, kok judulnya yang hilang si Bocil bukan Piku namanya? Terus gimana dengan animal communicator-nya?
BACA JUGA: Anies Baswedan Kegocek Jokes Legend Cing Abdel: Halim Sembilan Bulan
TAKUT KUCING
Piku adalah kucing pertama yang hadir di rumah. Pemberian dari teman istri saya. Nama Piku juga mengikuti panggilan dari ‘orang tua’ dia sebelumnya. Namanya ‘anak tunggal’, kasih sayang tumpah ruah ke hewan satu itu.
Sebenarnya, di rumah kami, ada Szalma Fatimarahma, putri sulung, yang justru ‘tidak suka’ bahkan ‘takut’ dengan kucing. Pekan-pekan pertama, tidak pernah sekalipun dia menyentuh Piku. Hanya berani memanggil dari kejauhan.
Entah kenapa, mungkin seperti kata pepatah ‘tak kenal maka tak sayang’, perasaan Szalma ke Piku perlahan berubah.
Elok, begitu panggilan keluarga besar kami untuk Szalma, akhirnya dekat dengan Piku bahkan berani menggendong. Lucunya, dia tetap takut kalau ketemu kucing selain Piku.
Berselang beberapa lama saya lupa, rumah kami ketambahan pendatang baru. Saudara kandung dari Piku. Namanya Piki. Juga pemberian dari teman istri saya itu.
Piku dan Piki jenis kucing Persia. Perbedaan di antara dua saudara kandung itu tipis. Piku berbulu warna putih abu-abu, Piki ada tambahan kuning selain dua warna itu.
Penghuni ‘dalam’ rumah bertambah lagi. Kami kedatangan anggota keluarga baru. Kiko dan kemudian anaknya yang kami beri nama Kimi. Juga jenis kucing Persia.
AKIBAT PERGAULAN BEBAS
Anak-anak dan istri saya menerapkan aturan yang cukup ketat terhadap para penghuni baru rumah kami itu. Mereka tidak boleh keluar pagar. Titik!
Tapi namanya aturan keluarga, sering saja ada pelanggaran. Beberapa kali Piku dan Piki kedapatan bermain keluar pagar rumah. Main-main ke rumah tetangga sebelah.
Apalagi pas ‘musim kawin’ alias berahi mereka lagi tinggi. Hasrat mereka keluar rumah semakin memuncak juga. Oh ya, semua kucing kami itu perempuan.
Yang kami khawatirkan terjadi. Si Piki ternyata hamil. Entah lelaki mana yang membuat dia berbadan dua.
“Akibat pergaulan bebas tuh,” kata Elok dengan bercanda.
Keputusan keluarga, anak-anak Piki akan kami rawat. Setelah sedikit besar, kami akan serahkan kepada kenalan. Tapi ada yang menyatakan dissenting opinion. Sarni namanya. Dia berkukuh merawat anak-anak Piki terus.
Sarni ini adalah orang keenam di keluarga kami. Anak-anak: Elok, Leyla Asri Mutiarazahra (Kakak) dan Bhisma Razani Omar Madjid (Mas), memanggil perempuan asli Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah itu, dengan sebutan Emak.
Dia ikut keluarga kami sejak Elok masih dalam kandungan tahun 1988. Jadi, ya sekitar 25 tahunan lah Emak Sarni bersama kami meski ada periode dia pulang kampung.
Satu ketentuan yang kami sepakati, anak-anak Piki tidak boleh masuk ke dalam rumah. Ya, seperti larangan bermain di luar rumah untuk Piki dan Piku, ketentuan itupun sesekali dilanggar.
Setelah sedikit besar, anak-anak Piki berpindah rumah. Salah satu anak Piki dibawa oleh Teteh, satu lagi orang dekat kami yang bantu-bantu di rumah. Satu lagi dikirim oleh Emak ke kampungnya di Banjarnegara.
Pergaulan bebas berulang. Piki hamil untuk kedua kali. Lahirlah dua bocil dari rahimnya. Lagi-lagi Emak berkukuh merawat dua bocil itu dengan kesepakatan yang sama. Tidak boleh masuk rumah.
Keduanya dipanggil dengan sebutan Bocil oleh Emak. Satu berbulu putih abu-abu. Satu lagi berwarna abu-abul full.
Jadi lebih rame deh di rumah. Di bagian dalam ada kakak beradik Piku dan Piki serta ibu anak Kimi dan Kiko. Di bagian luar ada dua Bocil: si Putih Abu-abu dan Si Abu-abu full.
BACA JUGA: Tafsir Al Azhar Buya Hamka tentang Al Baqarah Ayat 183 Soal Ibadah Puasa
PERGI DARI RUMAH
Prahara itu tiba awal Juni tahun 2023. Piku pergi dari rumah dan tidak kembali. Bisa dibayangkan bagaimana gundah-gulananya perasaan Elok Szalma, Kakak Zahra, dan Mas Omar, Ibu Negara dan Emak Sarni. Eh, termasuk saya juga deng.
Berbagai cara kami lakukan. Mencari sendiri ke lingkungan rumah dan memberi kabar ke tetangga, meminta orang lihat-lihat ke pasar hewan dan sebagainya.
Berhari-hari bahkan berminggu-minggu pencarian kami lakukan. Hasilnya nihil. Piku tak pernah kembali. Kami—terutama anak-anak dan Ibu Negara—sebenarnya sudah ikhlas.
Namun, rasa penasaran kami sekeluarga tak hilang meski Piku sudah meninggalkan rumah selama satu bulan lamanya. Wah kalau masih penasaran gini masih masuk kategori ikhlas atau gak ya?
Kami bertanya-tanya, kenapa Piku pergi dari rumah?
Apa dia bosan? Mungkin rumah kami kurang nyaman?
Tapi pertanyaan yang paling menakutkan bagi kami adalah apa Piku meninggal?
Genap satu bulan Piku meninggalkan rumah, Elok tanpa sengaja menemukan animal communicator (Ancom) di media sosial Instagram.
Mereka, Ancom, konon adalah orang yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan hewan. Lewat kemampuan itu, Ancom bisa menuntun anabul yang hilang pulang ke rumah atau sekadar mengetahui kondisi terkini makhluk Tuhan itu.
Setelah meminta izin dari bundanya, Elok menghubungi salah satu Ancom via Instagram. Sebenarnya, kami sekeluarga tak menaruh harapan besar Piku bisa pulang. Yang penting Piku sehat di manapun dia berada.
“Halo kak, kalau mau tanya tentang keberadaan kucing yang sudah hilang sejak satu bulan lalu apakah bisa ya?,” tulis Elok membuka percakapan dengan salah satu Ancom via direct message Instagram.
Beberapa jam berlalu, Elok akhirnya mendapatkan balasan.
“Halo kak, untuk kasus kakak nanti bisa masuk ke sesi komunikasi karena anabul sudah pergi dari rumah sekitar 1 bulan. Jadi harus dicek apakah keadaan masih hidup atau sudah mati,” balas admin Ancom.
Elok pun menyetujui tawaran tersebut. Kami harus membayar jasa sesi komunikasi sebesar Rp50 ribu dan dapat mengajukan dua pertanyaan.
Singkat cerita, setelah Ancom melakukan proses telepatik, kami mendapat kabar gembira. Piku masih hidup!
Katanya, Piku meninggalkan rumah karena ingin main. Hal itu menjadi alasan yang wajar bagi keluarga kami. Maklum, selama kurang lebih enam tahun hidup bersama kami, Piku kan memang gak boleh keluar pagar hehehe.
“Piku sempat jadi kucing jalanan tapi sekarang sudah di rumah orang, di-rescue. Di sana Piku tidak dikurung dan hidup bebas,” begitu penerawangan Ancom itu.
Lega hati kami mendengarnya. Harapan kami seakan dikabulkan Allah. Piku sehat dan mendapatkan tempat tinggal baru yang baik untuknya.
Begitulah awal mula kami mengenal ancom. Profesi itu juga yang pada akhirnya membantu kami menemukan Bocil, kucing berwarna abu-abu milik Emak.
Bocil pergi meninggalkan rumah pada Selasa, 20 Februari 2023 sekitar pukul 02.00 WIB. Kucing kecil tak kembali ke rumah kami hingga pagi datang.
Emak berduka.
“Sudah dirawat dari kecil, diberi makan yang enak, kalau sakit dikasih obat yang bagus, eeeeh sekarang malah ninggalin rumah.”
Ibu Negara yang juga risau dengan keadaan Bocil memberi instruksi.
“Elok, coba kontak Ancom yang waktu itu. Bisa gak dia bantu Bocil pulang? kan perginya belum lama.”
Ternyata, benar saja firasat Bunda. Hilangnya Bocil yang baru sebentar itu membuat Ancom masih berkesempatan untuk ‘menuntun’ pulang. Melalui telepati, Ancom menyarankan Bocil untuk pulang, kembali ke rumah bertemu kami lagi.
Tentunya jasa tersebut tak kami dapatkan secara gratis. Kami harus merogoh kocek sebesar Rp200 ribu untuk sesi komunikasi selama satu bulan.
“Mohon ditunggu ya kak, telapati sedang berjalan ke anabul,” ujar Ancom itu sesaat setelah pembayaran selesai.
Rabu, 21 Februari 2024, juga dini hari, Bocil pulang, kembali. Tentu saya tidak memastikan apakah kepulangan itu karena telepati dari Ancom atau bukan. Boleh jadi, Bocil cuma sedang bermain yang agak jauh dari tempat tinggal kami.
Entahlah. Yang pasti, kini Bocil kembali menemani Emak menggoreng peyek dagangannya—rutinitas yang sehari-hari mereka lakoni di bagian belakang rumah.
Bagaimana, Anda percaya dengan kemampuan Ancom itu?