Oleh St Eries Adlin, wartawan tentangkita.co
TENTANGKITA.CO – MALAM SUDAH LEWAT dari pukul 22.00 WIB di hari itu, Rabu 30 Desember 2009. Saya masih di kantor saat itu, Wisma Bisnis Indonesia.
Saya masih berkutat mengedit satu tulisan. Isinya tentang kabar duka bagi rakyat Indonesia. Abdurrahman Addakhil Wahid alias Gus Dur wafat selepas waktu Maghrib.
Tugas menyusun deretan kata-kata supaya enak dibaca belum selesai, saya menyempatkan diri menelepon istri di rumah.
”Si Mas (anak bungsu) doang yang masih melek. Elok (anak sulung) sama Kakak (anak tengah) udah tidur,” kata istri saya di seberang telepon.
Kalau bukan demi Gus Dur, pastilah saya tidak tega untuk meminta istri di rumah membangunkan ketiga bocil buah hati kami itu kala hari sudah melewati pukul 22.00.
”Bangunin aja. Kita nyelawat ke tempat Gus Dur,” saya memberi instruksi.
Nyelawat itu bahasa yang kerap digunakan oleh orang Jakarta wabil khusus Betawi yang sepadan artinya dengan takziah.
Pukul 23.00 lebih sedikit, telepon genggam saya berbunyi. Bundanya anak-anak gantian menelepon.
”Kita udah di bawah (lobi Wisma Bisnis Indonesia). Bunda Va (kakak perempuan saya) juga ikut.”
Kebetulan artikel yang harus saya urus sudah beres. Bergegas saya turun ke lobi, bergabung dengan rombongan yang menjemput.
Jadinya kami berenam. Saya, Rinduwati Syamsiah (istri), Szalma Fatimarahma (Elok), Leyla Asri Mutiara Zahra (Kakak), Bhisma Razani Omar Madjid (Mas Omar), dan Nouvarah Ahdiba, kakak perempuan saya yang biasa dipanggil Bunda Va. Yoyo, tetangga dekat rumah, diajak untuk menyupiri kami.
Saya tidak ingat berapa lama perjalan dari Wisma Bisnis Indonesia di Jalan Mas Mansyur ke Ciganjur, Jakarta Selatan. Jalan Ibu Kota sudah lengang ketika itu karena hari sudah tengah malam.
HARUS JALAN KAKI
Mendekati kawasan Ciganjur, lalu-lintas mulai terasa ramai meski Jakarta sudah malam ketika itu. Keramaian makin menjadi-jadi. Jalan menuju rumah Gus Dur dari Jalan Warung Sila 1 macet total.
Mobil sudah tidak bisa mendekat lagi ke rumah Gus Dur. Yoyo kami tinggal menunggu di mobil. Berenam kami terpaksa berjalan kaki hampir 500 meter.
”Kalau Gus Dur bukan ulama, mungkin gak sebanyak ini orang yang dateng. Orang dateng bukan karena die bekas presiden, tapi karena ulamanya,” saya sempat mendengar perbincangan dua orang di tengah-tengah kemacetan itu.
Begitu sampai di Masjid Al Munawarroh yang terletak di kompleks rumah Gus Dur, keramaian orang semakin menjadi. Wartawan baik elektronik, online, maupun cetak berjubel.
Ada juga pejabat dan mantan pejabat, selebritis, politisi dan tokoh masyarakat. Rakyat biasa tumpah ruah. Terdengar suara orang mengaji dari dua arah; dari dalam masjid dan rumah pribadi Gus Dur.
Lewat pengeras suara, rombongan para pelayat diatur. Puluhan tentara berbaju loreng terlihat sibuk menyeleksi orang yang berdatangan. Maklum Gus Dur pernah jadi presiden sehingga ada protokoler yang harus dipenuhi.
”Mohon kepada para pelayat yang ingin menshalatkan, masuk bergantian, 50 orang 50 orang,” begitu terdengar pemberitahuan lewat pengeras suara.
Ketika saya datang, sepertinya lebih dari lima kali maklumat seperti itu terdengar. Saya tidak bisa memastikan berapa orang yang ada di sana ketika itu. Angka ribuan sepertinya tidak berlebihan.
Kami berenam harus mengantre untuk dapat masuk ke rumah sekaligus melihat jenazah Gus Dur. Rombongan kami menyerah karena antrean panjang dan berdesak-desakan.
Berenam, kami memilih duduk istirahat di pelataran Masjid Al Munawarroh. Saya juga tidak tega sama anak-anak kalau berkeras untuk masuk. Pasti saya bakal disebut ‘tak tau diri’ kalau tetap memaksakan diri.
Saat itu, si Bungsu Mas Omar baru berusia kurang dari tiga setengah tahun, Kaka Zahra baru berumur empat setengah tahun. Si Sulung Elok—kemudian kemudian mengikuti jejak saya menjadi jurnalis—ketika itu belum genap 11 tahun.
Namun, rasa penasaran ingin masuk dan melihat wajah Gus Dur untuk terakhir kali mengalahkan rasa kasihan itu.
”Elok mau lihat jenazah Mbah Gus Dur ke dalem?” tanya saya kepada si Sulung Elok Szalma.
Saya memang membahasakan Gus Dur dengan kata Mbah kepada anak-anak. Meski saya orang Minang tulen, istri saya orang Sragen, Jawa Tengah.
Sebenarnya sih saya tak berharap mendengar jawaban yang menyetujui. Tetapi, tanpa mengeluarkan suara, ternyata Si Elok menganggukkan kepala tanda sepakat untuk masuk melihat jenazah Gus Dur bersama saya.
Kaget juga sih saya mendapat sinyal persetujuan itu. Pasalnya, berarti gadis kecil yang belum genap 11 tahun itu harus berjibaku di tengah kerumunan orang dewasa untuk bisa menyelinap masuk.
TERKURUNG DI KERUMUNAN
Hampir setengah jam kami berdua terkurung di kumpulan para pelayat yang punya niat sama. Keringat mulai mengucur dari dahi saya dan juga Elok. Yang lebih parah, kami juga harus terdorong-dorong karena orang begitu berjubel.
Dengan mengelus kepala Elok, saya bertanya, ”Elok masih kuat?”
Kali ini jawaban anak sulung saya itu sempat membuat nyess di hati. ”Elok takut kedesek-desek Yah,” Elok langsung menjawab dengan mimik yang menyiratkan ketakutan.
Mungkin saya akan dinilai tidak punya rasa belas kasihan karena berkata, ”Tunggu sebentar lagi ya Lok.”
Elok terdiam, mungkin karena tidak mau mendebat ayahnya. Sekitar 5 menit kemudian, Elok bertanya, ”masih lama gak Yah?”
Hmmm, kali ini saya tidak tega untuk memaksakan kehendak karena merasakan nada suara Elok kental dengan rasa takut. Saya berniat keluar dari kerumunan.
Akan tetapi, sebelum keputusan untuk berbalik arah saya ambil, antrean di depan saya beranjak maju. Kami menjadi semakin dekat dengan pintu masuk rumah Gus Dur.
”Yang wartawan, masuk,” begitu suara seorang tentara memberi aba-aba kepada orang di belakang kami yang terlihat membawa kamera.
Suara tentara itu seperti menjadi perintah kepada saya agar merogoh kantong mengambil dompet. Saya kan wartawan juga. Kartu Pers saya keluarkan dari dompet dan mengangkat tangan tinggi di tengah kerumuman calon pelayat.
Kami berdua akhirnya juga diperbolehkan masuk halaman rumah Gus Dur. Namun, ternyata perjuangan belum selesai. Masih ada antrean lagi yang harus kami tembus yaitu pintu masuk ke ruang tempat Gus Dur disemayamkan.
Namun kali itu, kerumuman orang tidak terlalu padat dibandingkan dengan di pintu halaman rumah. Hanya menunggu berapa menit, saya bersama Elok berhasil masuk dan sampai di depan jenazah Gus Dur. Putri sulung saya itu bahkan sampai bisa memegang kaki Gus Dur.
Hanya selang dua orang dari tempat saya berdiri, saya melirik ada perempuan muda berkerudung menahan sedu sedannya di samping jenazah Gus Dur.
Saya tidak tahu siapa dia, tetapi dapat mengerti alasan apa gerangan yang menyebabkan air matanya terus berlinang-linang.
PEMUJA GUS DUR
Oh ya…rombongan kami yang lain—istri, kakak saya, Kaka, dan Omar akhirnya juga bisa masuk ke ruangan dalam Gus Dur tapi tidak melalui proses berdesak-desakan.
Karena kebaikan hati orang yang dari dalam rumah, mereka berempat bisa masuk lewat pintu samping rumah dan melihat dari dekat jenazah Gus Dur.
Mungkin, saya akan dicap sebagai pemuja Gus Dur dengan sekelumit peristiwa ini. Tapi tak apa.
Saya cuma ingin mengajarkan kepada istri dan anak-anak bahwa kami patut menghargai orang yang memang pantas dihargai. Dan Gus Dur adalah salah satunya.
Dari perjuangan saya dan keluarga ketika itu, Gus Dur ternyata tidak selalu ‘istiqomah’ dengan jargon yang amat melekat dengan dirinya. “Gitu aja kok, repot.”
Panjenengan ketika itu—sempat—membuat kami sekeluarga kerepotan Gus! Saya harus menyaksikan raut ketakutan di wajah Elok Szalma. Mas Omar dan Kakak Zahra mesti begadang.
Tetapi, semua kerepotan ketika itu sirna bahkan berganti dengan rasa bungah di hati ketika anak gadis saya, Szalma Fatimarahma, berucap.
”Elok juga sempat megang kaki Gus Dur,” kata anak gadis saya yang kini akan memasuki usia 25 tahun.
Saya tidak tahu apakah Elok Szalma berbangga atau ada rasa lainnya ketika berkata seperti itu. Yang jelas, kalimat itu menghilangkan kerepotan—paling tidak bagi saya—yang kau sebabkan Gus.
Insya Allah, semoga kami sekeluarga mendapat berkesempatan untuk ‘sowan dan menemui’ Gus Dur lagi di Jombang.
Al Fatihah untuk Abdurrahman Addakhil ‘Gus Dur’ Wahid.