Jumat, 22 November 2024

Siapa Orang yang Pertama Kali Shalat Maghrib: Nabi Isa

Menurut Syaihk Nawawi Al Bantani, memang ada hikmah di balik penentuan waku dan jumlah rakaat shalat lima waktu yang menjadi salah satu ibadah utama umat Islam.

Hot News

TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Siapa orang yang pertama kali shalat Maghrib disebutkan oleh Syaikh Nawawi Al Bantani adalah Nabi Isa.

Dalam kitab Sullam Al Munajah terbitan Al Haramain, Surabaya, Syaikh Nawawi al Bantani menyebut bahwa Nabi Isa melakukan shalat Maghrib setelah selamat dari kejaran kaumnya yang hendak membunuh dirinya.

Peristiwa pengejaran terhadap Nabi Isa berlangsung pada saat matahari terbenam. Setelah selamat dari incaran para pembunuh itu, Nabi Isa menjalankan shalat tiga rakaat.

– Rakaat pertama sebagai bentuk kemantapan aqidah (tauhid) Nabi Isa bahwa tidak ada tuhan selain Allah,

– Rakaat kedua untuk menghilangkan tuduhan kaumnya yang mengatakan bahwa Nabi Isa merupakan hasil anak zina ibunya (Sayyidah Maryam) dengan orang lain,

– Rakaat yang ketiga untuk memantapkan keyakinan Nabi Isa bahwa semua kejadian yang menimpanya merupakan ketetapan dari Allah.

Menurut Syaihk Nawawi Al Bantani, memang ada hikmah di balik penentuan waku dan jumlah rakaat shalat lima waktu yang menjadi salah satu ibadah utama umat Islam.

BACA JUGA: Orang yang Pertama Kali Shalat Ashar: Nabi Yunus

Ada peristiwa penting yang mengiringi penetapan waktu dan rakaat shalat lima waktu yang, menurut Syaikh Nawawi al Bantani, terjadi pada Nabi-nabi terdahulu.

Jadi, sebelum Rasulullah Muhammad, menurut Syaikh Nawawi al Bantani, para Nabi itu sudah menjalankan ibadah shalat.

Dalam satu artikel yang tayang di laman Kementerian Agama, kemenag.go.id, disebutkan Syaikh Nawawi al Bantani mengisahkan secara lengkap hikmah dan peristiwa penting terkait dengan penentuan waktu dan jumlah rakaat shalat.

BIOGRAFI SYAIKH NAWAWI

Nama lengkap Syaik Nawawi Al Bantani adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Masbuqil al-Jawwi al-Bantani.

Beliau, seperti ditulis laman NU Online, nu.or.id, lahir di Tanara Tirtayasa Serang Banten pada tahun 1230 H/1813 M dan wafat di Mekkah pada 1314 H/1897 M.

Nama al Bantani digunakan sebagai nisbat untuk membedakan dengan sebutan Imam Nawawi, seorang ulama besar dan produktif dari Nawa Damaskus, yang hidup sekitar abad XIII Masehi.

Ayah Syekh Nawawi adalah seorang penghulu di Tanara, setelah diangkat oleh pemerintah Belanda. Ibunya bernama Zubaidah, penduduk asli Tanara.

Pada masa kecil, Syekh Nawawi dikenal dengan Abu Abdul Muthi. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah.

Syekh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati Cirebon. Dari garis keturunan ayah, berujung kepada Nabi Muhammad Saw melalui jalur Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, sedangkan dari garis ibu sampai kepada Muhammad Singaraja.

Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M sedang berada dalam periode terakhir, di ambang keruntuhan.

BACA JUGA: Manusia Yang Pertama Kali Shalat Subuh: Nabi Adam

Syekh Nawawi mulai belajar ilmu agama Islam sejak berusia lima tahun, langsung dari ayahnya. Bersama-sama saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir.

Pada usia delapan tahun, bersama adiknya bernama Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada KH. Sahal, salah satu ulama terkenal di Banten saat itu.

Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu ke Raden H. Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi berangkat pergi ke Arab Saudi.

Di samping untuk melaksanakan ibadah haji, keberangkatan itu penting bagi Syekh Nawawi untuk menimba ilmu. Seperti ulama Al-Jawwi pada umumnya, pada masa-masa awal di Arab Saudi, dia belajar kepada ulama Al-Jawwi lainnya.

MENGAJAR DI MASJIDI HARAM

Puncak hubungan Indonesia (orang-orang Melayu) dengan Mekkah terjadi pada abad 19 M. Karena, pada saat itu banyak sekali orang Indonesia yang belajar di Mekkah.

Bahkan, tidak sedikit diantara mereka diberi kesempatan mengajar di Masjidil Haram, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfuzh Al-Turmusi asal Tremas Pacitan, Syekh Ahmad Khatib Al-Minankabawi asal Minangkabau, Syekh Muhtaram asal Banyumas, Syekh Bakir asal Banyumas, Syekh Asyari asal Bawean, dan Syekh Abdul Hamid asal Kudus.

Ada sekitar 200 orang yang hadir setiap kali Syekh Nawawi Al-Bantani mengajar di Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram menjadi satu-satunya tempat favorit, semacam kampus favorit dalam istilah sekarang.

BACA JUGA: Orang yang Pertama Kali Shalat Dzuhur: Nabi Ibrahim

Di Tanah Suci. Yang menjadi murid Syekh Nawawi tidak hanya orang Indonesia, namun para pelajar dari berbagai negara. Selama mengajar, Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang guru yang komunikatif, simpatik, mudah dipahami penjelasannya dan sangat mendalam keilmuan yang dimiliki.

Dia mengajar ilmu fiqih, ilmu kalam, tashawuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab. Di antara muridnya di Arab Saudi yang kemudian menjadi tokoh pergerakan setelah kembali ke Tanah Air.

Mereka antara lain KH Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama/NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Abdulkarim Amrullah (Sumatera Barat), Syekhana Chalil (Bangkalan), KH. Asyari (Bawean).

Lalu ada nama KH Tb. Asnawi (Caringin Banten), KH Ilyas (Kragilan Banten), KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Najihun (Tangerang), KH. Abdul Ghaffar (Tirtayasa Serang), KH. Tb. Bakri (Sempur Purwakarta), KH. Dawud (Perak Malaysia) dan sebagainya.

Di samping itu, Syekh Nawawi juga banyak melahirkan murid yang kemudian menjadi pengajar di Masjidil Haram. Di antaranya adalah Sayyid Ali bin Ali al-Habsy, Syekh Abdul Syatar al-Dahlawi, Syekh Abdul Syatar bin Abdul Wahab al-Makki dan sebagainya.

BAPAK KITAB KUNING

Syekh Nawawi lebih banyak dijuluki sebagai Sayyid Ulama al-Hijaz, karena telah mencapai posisi intelektual terkemuka di Timur Tengah, juga menjadi salah satu ulama paling penting yang berperan dalam proses transmisi Islam ke Nusantara.

BACA JUGA: Tata Cara, Niat, dan Syarat Shalat Qashar: Perjalanan Minimal 82 Kilometer Ya

Pengalaman belajar yang dimiliki cukup untuk menggambarkan bentuk pembelajaran Islam yang telah mapan dalam Al-Jawwi di Mekkah.

Dalam konteks keberadaan pesantren di Indonesia, Syekh Nawawi diakui sebagai salah satu arsitek pesantren, sekaligus namanya tercatat dalam genealogi intelektual tradisi pesantren.

Nama Syekh Nawawi tidak hanya terkenal di daerah Arab Saudi, tetapi juga di Syiria, Mesir, Turki dan Hindustan.

Penguasaan yang mendalam terhadap ilmu agama dan banyaknya kitab karyanya yang sampai sekarang masih menjadi rujukan di mayoritas pesantren di Indonesia, menjadikan nama Syekh Nawawi dijuluki sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.

Syekh Nawawi adalah ulama Indonesia paling produktif yang bermukim di Haramain. Selama hidup, karya Syekh Nawawi tidak kurang dari 99 buku maupun risalah. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari 115 buah.

Semua tulisan itu membahas berbagai disiplin kajian Islam. Beberapa karyanya yang masih terkenal sampai sekarang adalah Tafsir al- Munir, Nashaihul Ibad, Fathul Shamad al-Alim, al-Tausyikh, Kasyifatus Saja, al- Futuhat al-Madaniyyah, Tanqihul Qawl, Nihayatul Zayn, Targhibul Mustaqin, Hidayatul Azkiya, Madarijul Saud, Bughyatul Awam, Fathul Majid dan sebagainya.

Temukan Artikel Viral kami di Google News
Artikel Terkait
Terpopuler
Terbaru

Piala Dunia FIFA 2026: Ini Syarat Indonesia Lolos

TENTANGKITA.CO, JAKARTA - Peluang Indonesia menjadi  satu dari dua negara di Grup C yang lolos  dari babak ketiga Kualifikasi...