TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Perintah shalat lima waktu menjadi kewajiban bagi umat muslimin selama satu hari. Namun, ternyata, para Nabi sebelum Rasulullah Muhammad sudah melakukan ibadah tersebut.
Syaikh Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Sullam Al Munajah terbitan Al Haramain, Surabaya, menulis bahwa ada peristiwa pada masa lalu yang mengiringi ketentuan waktu shalat lima waktu: Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya.
Ulama besar asal Indonesia yang lama bermukim di Mekkah itu menceritakan hikmah di balik penentuan waktu dan jumlah rakaat yang terkait dengan peristiwa penting yang dialami para Nabi terdahulu.
Berikut ini cerita dan hikmah yang terkait dengan perintah shalat Subuh menurut Syaikh Nawawi Al Bantani seperti dilansir laman Kementerian Agama, kemenag.go.id.
BACA JUGA: Tata Cara, Niat, Syarat dan Jenis Shalat Jamak: Taqdim dan Takhir
SHALAT SUBUH
Dalam kitab Sullam Al Munajah, Syaikh Nawawi menyebut manusia yang pertama kali melaksanakan shalat Subuh adalah Nabi Adam. Kisah ini bermula ketika Allah menurunkan Nabi Adam ke Bumi dari surga.
Saat menginjakkan kaki di Bumi, Nabi Adam dihantui rasa takut dan khawatir. Bagaimana tidak. Keadaan Bumi sangat gelap karena tidak ada cahaya sama sekali.
Rasa takut dan khawatir Nabi Adam kemudian pupus ketika terbit fajar dengan membawa sinar yang menerangi Bumi seisinya. Pada saat itulah, Nabi Adam melakukan shalat dua rakaat sebagai bentuk rasa syukur.
Rakaat pertama, menurut Syaikh Nawawi, Nabi Adam bersyukur kepada Allah karena telah diselamatkan dari gelapnya malam tersebut. Rakaat kedua adalah bentur rasa syukur Nabi Adam karena terbitnya fajar yang bisa menerangi bumi dan seisinya.
BACA JUGA: Tata Cara Shalat Tahajud: Bacaan Doa dan Niat Lengkap dalam Bahasa Latin
WAKTU SUBUH MENURUT MUHAMMADIYAH
Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) sebagai lembaga keagamaan dalam Muhammadiyah, seperti dlansir laman muhammadiyah.or.id, mendapatkan berbagai masukan agar meninjau kembali waktu subuh.
Akhirnya, dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 tahun 2010, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah mengamanatkan kepada tiga lembaga untuk melakukan kajian dan observasi fajar.
Tiga lembaga itu adalah Observatorium Ilmu Falak (OIF) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Pusat Studi Astronomi (Pastron) Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA).
Ketiga lembaga astronomi perguruan tinggi Muhammadiyah tersebut menggunakan alat Sky Quality Meter (SQM) yang diarahkan ke zenit untuk mengkuantisasi perubahan tingkat kecerahan langit.
ISRN UHAMKA selain menggunakan SQM juga memakai kamera DSLR, kamera All-Sky, kamera smartphone, dan kamera drone. Pengamatan langit oleh ketiga lembaga astronomi ini dilakukan di berbagai tempat di Indonesia.
BACA JUGA: Tata Cara, Niat, dan Syarat Shalat Qashar: Perjalanan Minimal 82 Kilometer Ya
Pada akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa rata-rata ketinggian matahari tidak berada di titik -20 derajat. Pada akhirnya, Musyawarah Nasional Tarjih ke-31 tahun 2020 memutuskan bahwa ketinggian matahari berada di -18 derajat.
Pandangan ini diperkuat dengan mayoritas ahli astronomi muslim klasik sejauh yang bisa diakses Majelis Tarjih. Begitu pula hasil riset yang dilakukan Mohd Zambri Zainuddin dkk dari Malaysia menyimpulkan hal yang serupa.
Sebagai perbandingan, sejumlah negara juga menggunakan kriteria awal waktu subuh pada ketinggian matahari -18 derajat seperti, Turki, Inggris, Perancis, Australia, Nigeria, dan Malaysia.
Demikian hikmah di balik waktu dan jumlah rakaat shalat Subuh yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Adam.***