TENTANGKITA.CO– Pemimpin Asosiasi Studi Shinto Internasional, Jepang Yoshinobu Miyake menyampaikan pentingnya dua pendekatan strategis dalam mengatasi konflik di Palestina.
Hal ini disampaikannya saat membacakan pernyataannya dalam Forum R20 International Summit of Religious Authorities (ISORA) di Park Hyatt Jakarta pada Senin (27/11/2023).
Dia menekankan perlunya reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama Dewan Keamanan PBB (DK PBB), untuk meningkatkan kapasitasnya dan mencabut hak veto dari anggota tetap.
BACA JUGA:KJMU Tahap II Tahun 2023 Cair, Total Bantuan Rp9 Juta
“Dibutuhkan dua pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan berlebihan yang terus terjadi di Palestina dan Ukraina. Yang pertama adalah reformasi PBB, khususnya Dewan Keamanan, badan internasional yang bertanggung jawab mencegah konflik bersenjata antar negara,” katanya.
Menurut Miyake, kepatuhan terhadap Pasal-Pasal Piagam PBB harus menjadi prioritas utama bagi semua negara anggota.
“Semua negara anggota PBB wajib mematuhi Pasal-Pasal Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun sayangnya, beberapa negara anggota menempatkan ‘kepentingan nasional’ mereka sendiri di atas kepatuhan terhadap Piagam PBB,” paparnya.
Menurutnya, yang penting dilakukan saat ini adalah mendesak untuk mencabut hak veto dari anggota tetap Dewan Keamanan alih-alih terus terjebak dalam argumen tentang kapasitas Dewan Keamanan harus ditingkatkan.
“Yang lebih penting adalah kebutuhan mendesak untuk mencabut hak veto dari anggota tetap Dewan Keamanan. Karena setiap resolusi Dewan Keamanan yang menentang invasi Ukraina telah terkubur oleh veto Rusia, dan resolusi Dewan Keamanan terkait dengan gencatan senjata kemanusiaan di Jalur Gaza terkubur oleh veto Amerika Serikat, maka dapat dikatakan bahwa Dewan Keamanan Dewan sekarang tidak berfungsi sama sekali,” ungkapnya.
BACA JUGA: Dana BPMS Tahun 2023 Cair, Penyaluran Bertahap Mulai 28 November:
Miyake mengusulkan kerja sama antara otoritas keagamaan global, pemimpin politik, dan ekonomi untuk membangun tatanan internasional yang stabil.
“Mengajak semua otoritas keagamaan di seluruh dunia untuk bekerja sama dengan para pemimpin di sektor politik dan ekonomi untuk membangun tatanan internasional berdasarkan aturan-aturan yang lebih stabil dan diterima secara luas, karena aturan-aturan tersebut mengakar dalam nilai-nilai moral dan spiritual bersama,” ujarnya.
Miyake menekankan peran positif dan konstruktif otoritas keagamaan dalam mendukung reformasi dan rekontekstualisasi doktrin agama demi menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.
“Reformasi dan rekontekstualisasi doktrin agama mereka sendiri mungkin merupakan penderitaan yang tak tertahankan. Namun, jika otoritas agama tidak menerima penderitaan tersebut, argumen kita akan menjadi ‘argumen yang membenarkan diri sendiri dan tidak sampai ke pikiran lawan kita,’ tidak berbeda dengan argumen para teroris fanatik atau pemimpin negara yang otokratis,” jabarnya.
Bagi Miyake, pemimpin agama perlu mengadopsi prinsip-prinsip universal, seperti inti ajaran di banyak agama yang memuat perintah untuk memperlakukan sesama manusia sebaik-baiknya dan larangan membunuh.
Dengan bersama-sama mengedepankan nilai-nilai ini, Miyake berharap suara agama dapat menjadi kekuatan positif dalam menangani tantangan global dan mempromosikan perdamaian berbasis aturan.
“Kedua ajaran ini merupakan inti dari sebagian besar agama di seluruh dunia. Mari kita bersama-sama menyuarakan suara agama dalam menangani kekerasan dan ancaman terhadap tatanan internasional yang berbasis aturan,” pungkasnya.