Kamis, 21 November 2024

KERUSUHAN MEI 1998 (3): Keluarga Presiden Persenjatai Diri Dengan Senjata Otomatis

Wiranto mengisahkan peristiwa 20 Mei 1998 malam ketika dipanggil Soeharto ke Cendana. Saat itu  Soeharto belum mundur. “Pada 20 Mei malam,  saya dipanggil oleh Presiden di kediaman di Cendana.”

Hot News

TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Mei 1998 adalah peristiwa kerusuhan massa, demonstrasi anti-pemerintah, dan pembangkangan sipil di Indonesia pada bulan Mei 1998. Peristiwa ini terutama terjadi di kota Medan, Jakarta, dan Surakarta, dengan insiden-insiden kecil di wilayah lain di Indonesia.

Kerusuhan tersebut dipicu oleh korupsi, masalah ekonomi, termasuk kekurangan pangan dan pengangguran massal. Kerusuhan ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Terkait dengan itu, Tentangkita.co, akan mencoba untuk kembali membuka lembaran hitam sejarah Indonesia itu dalam tiga tulisan mulai hari Minggu (26/5) dengan mengutip pernyataan Menhan dan Pangab saat itu, Jenderal (purn) Wiranto. Itu diungkapkannya dalam sebuah acara bedah buku terkait peristiwa Mei 1998, pada 23 Mei 2023 di Jakarta.

Peristiwa Mei 1998/ Wikipedia

BACA JUGA

“Jadi ini [peristiwa Mei 1998] sebenarnya satu peristiwa yang cukup bersejarah. Di mana [kita] dalam keadaan kritis,” kata mantan Menkopolhukam itu. “[Tapi] Saat itu, TNI tidak ada sedikit pun berkeinginan untuk mengambil alih kekuasaan tidak seperti Thailand.”

Di Thailand, 11 kali terjadi kudeta  militer terhadap pemerintahan sipil  karena diristui raja. Di sana masih ada raja, kita tidak.

Itu mengisahkan peristiwa 20 Mei 1998 malam ketika Wiranto dipanggil Soeharto ke Cendana. Saat itu  Soeharto belum mundur. “Pada 20 Mei malam,  saya dipanggil oleh Presiden di kediaman di Cendana.”

“Saya,  ada Kasad Pak Subagyo. Beliau [Presiden] membawa kertas.  Lalu Beliau mengatakan: Ini saya serahkan kepadamu. istilahnya  waktu itu  keputusan presiden. Bukan  Inpres. Instruksi Presiden Nomor 16. Ada nomornya.”

“Saya serahkan kepadamu. Kamu saya angkat menjadi,  selain Menahankam Pangab,  saya angkat menjadi Panglima Komando Operasi Keamanan dan Keselamatan Negara.”

“Tapi ada  kata kata yang  waktu itu saya  bingung. Tidak terlalu  paham. Tapi akhirnya saya memahami. Tapi  pada saat itu saya enggak paham karena ada embel-embel  surat ini kamu pakai boleh, tidak juga tidak apa-apa begitu. Di militer  enggak pernah ada perintah seperti itu. Enggak pernah. [Yang ada] Ini saya perintahkan  laksanakan, siap laksanakan  begitu. Tapi begitu kamu laksanakan boleh tidak juga enggak apa-apa  tidak paham. Saya  terus bilang, baik pak saya pelajari.”

“Surat saya bawa. Saya baca diperjalanan dari  Cendana sampai ke Merdeka Barat. Saya sudah  ditunggu staf di sana karena mereka tahu saya ada dengan presiden. 10 menit saya baca  impres itu yang memberikan keluasaan saya untuk membuat kebijakan tingkat nasional. Ya diizinkan untuk saya menetralisir berbagai sumber kerusuhan dan siapun yang membantu kerusuhan itu semua menteri pejabat pusat dan daerah harus membantu Panglima untuk mengatasi hal ini. Jadi kuat sekali ya.

“Di sini pikiran macam-macam. Tapi saya enggak berani memutuskan dulu sebelum ketemu staf. Pada saat di  Merdeka Barat, saya  ketemu staf. Saya ajak rapat. Saya jelaskan, ini  saya dapat perintah seperti ini. Surat ini bunyinya seperti ini,” ujar Wiranto bercerita.

“Di  TNI itu atau di militer,  kalau ingin bertindak selalu ada satu proses  hubungan komandan dan staf komandannya. Minta pertimbangan staf,  membuat satu analisis, membuat cara bertindak. Paling enggak dua, jangan satu. Nanti komandan milih, gitu kan. Nah cuma dua itu. Ambil alih atau enggak kan begitu. Tapi, waktu itu sudah kita bahas. Kalau diambil alih, suasana negara waktu itu dolar Rp16.000 dari Rp2.400. Makanan kosong, rakyat menderita. Orang reformis  masih ngotot presiden mundur. Harus ada pergantian rezim. Kan begitu? Saya  mantan ajudan, mantan panglimanya presiden yang dapat surat dari Presiden dijatuhkan. Pasti mereka  akan ngotot, karena ingin  mengubah rezim orde baru dengan semua yang terlibat menjadi rezim yang baru.”

“Di sisi lain,  di militer, juga ada namanya kir korban. Perkiraan korban jatuh kalau kita melaksanakan aksi. lalu, saya katakan, oke sekarang kita akan membuat negeri ini aman harus ada keputusan-keputusan yang diakui rakyat melalui DPR.”

“[Tapi]  kalau kita  mengosongkan DPR supaya DPR bisa bersidang,  saya tanya Asintel waktu itu,  Zeki Anwar Makarim. Berapa korban yang jatuh? Beliau menjawab, setelah ngitung-ngitung. Enggak tahu hitungannya gimana. Saya juga enggak tanya. Dia jawab kira-kira 200 sampai 250 mahasiswa akan mati.”

“Maka terakhir saat penutupan rapat itu [saya tanya] kepada  Susilo Bambang Yudoyono,  saat itu masih bintang tiga dan  saya  manggilnya bukan Pak SBY, belum. Manggilnya  masih Bang. Ya Bang Gimana Bang kan gitu. Sekarang enggak berani.”

BACA JUGA

“Saya tanya gimana, Bang?  Dia mengatakan apakah Bapak ambil lalih besok? Saya  memberi keputusan tidak. Besok kita antarkan pergantian kekuasaan dari Presiden kepada wakil presiden. Sekarang buatkan pernyataan politik dari ABRI. Besok saya bacakan. Beliau nulis  sampai 5. Satu  sampai 5 poin  itu saya bacakan setelah serah terima dari pak Soeharto kepada Pak Habibi.”

“Tapi,  intinya, saya minta supaya rapat menerima itu. Kemudian rakyat diredakan emosinya  supaya keamanan dipulihkan dan  ABRI  tetap mengakui pemerintah yang sah. Yang keempat, ya ini yang menjadi masalah kan. Berhubungan dengan Pak Harto.”

“Pada saat itu, saat kita sedang rapat,  2.000  mahasiswa dan  pendemo berjalan dari gedung MPR menuju Cendana. Mereka ingin menghabisi presiden dan keluarga presiden. Keluarga [Presiden] sudah mempersenjatai diri dengan senjata-senjata otomatis. Jadi  sudah dibagi senjata. Saya  kemudian melihat kondisi itu. Wah bagaimana ini, masak presiden  melawan  rakyat.”

“Kemudian wartawan majalah Life datang ke saya mengatakan Pak Wiranto hati-hati, akan ada lagi korban ya akan dimunculkan  di Cendana.  Harus hati-hati. Maka saya perintahkan polisi untuk membuat barikade. Saya katakan buat barikade 50 m. Jangan sampai ada konflik langsung antara aparat keamanan dan demonstran. Saya pun tidak ingin  rakyat Indonesia disebut barbar karena membunuh presidennya,”

“Sehingga, poin  keempat  yang saya tulis, saya ambil berdasarkan nilai luhur budaya bangsa. ABRI akan menjaga keselamatan para mantan presiden dan keluarganya. Tapi ini  tidak mudah. Karena, waktu saya ingin menulis poin keempat itu, saya telepon dulu ke Mensesneg saat itu, Pak Moerdiono. Sudah almarhum.”

“Pak Mensesneg,  ini kira-kira dasar hukumnya apa? Enggak ketemu. Dasar hukum mengamankan presiden dan keluarganya itu enggak ketemu. Akhirnya saya ambil it utadi,  landasan etis saja. Budaya kita selalu  mikul duwur mendem jero untuk para pimpinan kita, atasan kita. Maka,  dengan  berdasarkan nilai luhur budaya bangsa,  ABRI akan menjaga keselamatan para mantan presiden. Tidak hanya Pak Harto dan keluarganya. Ya kira-kira seperti itu.”

“Jadi,  ini sebenarnya satu  peristiwa yang cukup bersejarah. Di mana dalam keadaan kritis,  TNI tidak ada sedikitp keinginan untuk mengambil alih kekuasaan.”

 

Temukan Artikel Viral kami di Google News
Artikel Terkait
Terpopuler
Terbaru

Piala Dunia FIFA 2026: Ini Syarat Indonesia Lolos

TENTANGKITA.CO, JAKARTA - Peluang Indonesia menjadi  satu dari dua negara di Grup C yang lolos  dari babak ketiga Kualifikasi...