TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Mei 1998 adalah peristiwa kerusuhan massa, demonstrasi anti-pemerintah, dan pembangkangan sipil di Indonesia pada bulan Mei 1998. Peristiwa ini terutama terjadi di kota Medan, Jakarta, dan Surakarta, dengan insiden-insiden kecil di wilayah lain di Indonesia.
Kerusuhan tersebut dipicu oleh korupsi, masalah ekonomi, termasuk kekurangan pangan dan pengangguran massal. Kerusuhan ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Terkait dengan itu, Tentangkita.co, akan mencoba untuk kembali membuka lembaran hitam sejarah Indonesia itu dalam tiga tulisan mulai hari Minggu (26/5) dengan mengutip pernyataan Menhan dan Pangab saat itu, Jenderal (purn) Wiranto. Itu diungkapkannya dalam sebuah acara bedah buku terkait peristiwa Mei 1998, pada 23 Mei 2023 di Jakarta.
BACA JUGA
- KERUSUHAN MEI 1998 (1): Tawar Menawar ABRI vs DPR, Soeharto Mundur
- KERUSUHAN MEI 1998 (2): Konflik Rakyat dan Pemerintah
“Jadi ini [peristiwa Mei 1998] sebenarnya satu peristiwa yang cukup bersejarah. Di mana [kita] dalam keadaan kritis,” kata mantan Menkopolhukam itu. “[Tapi] Saat itu, TNI tidak ada sedikit pun berkeinginan untuk mengambil alih kekuasaan tidak seperti Thailand.”
Di Thailand, 11 kali terjadi kudeta militer terhadap pemerintahan sipil karena diristui raja. Di sana masih ada raja, kita tidak.
Itu mengisahkan peristiwa 20 Mei 1998 malam ketika Wiranto dipanggil Soeharto ke Cendana. Saat itu Soeharto belum mundur. “Pada 20 Mei malam, saya dipanggil oleh Presiden di kediaman di Cendana.”
“Saya, ada Kasad Pak Subagyo. Beliau [Presiden] membawa kertas. Lalu Beliau mengatakan: Ini saya serahkan kepadamu. istilahnya waktu itu keputusan presiden. Bukan Inpres. Instruksi Presiden Nomor 16. Ada nomornya.”
“Saya serahkan kepadamu. Kamu saya angkat menjadi, selain Menahankam Pangab, saya angkat menjadi Panglima Komando Operasi Keamanan dan Keselamatan Negara.”
“Tapi ada kata kata yang waktu itu saya bingung. Tidak terlalu paham. Tapi akhirnya saya memahami. Tapi pada saat itu saya enggak paham karena ada embel-embel surat ini kamu pakai boleh, tidak juga tidak apa-apa begitu. Di militer enggak pernah ada perintah seperti itu. Enggak pernah. [Yang ada] Ini saya perintahkan laksanakan, siap laksanakan begitu. Tapi begitu kamu laksanakan boleh tidak juga enggak apa-apa tidak paham. Saya terus bilang, baik pak saya pelajari.”
“Surat saya bawa. Saya baca diperjalanan dari Cendana sampai ke Merdeka Barat. Saya sudah ditunggu staf di sana karena mereka tahu saya ada dengan presiden. 10 menit saya baca impres itu yang memberikan keluasaan saya untuk membuat kebijakan tingkat nasional. Ya diizinkan untuk saya menetralisir berbagai sumber kerusuhan dan siapun yang membantu kerusuhan itu semua menteri pejabat pusat dan daerah harus membantu Panglima untuk mengatasi hal ini. Jadi kuat sekali ya.
“Di sini pikiran macam-macam. Tapi saya enggak berani memutuskan dulu sebelum ketemu staf. Pada saat di Merdeka Barat, saya ketemu staf. Saya ajak rapat. Saya jelaskan, ini saya dapat perintah seperti ini. Surat ini bunyinya seperti ini,” ujar Wiranto bercerita.
“Di TNI itu atau di militer, kalau ingin bertindak selalu ada satu proses hubungan komandan dan staf komandannya. Minta pertimbangan staf, membuat satu analisis, membuat cara bertindak. Paling enggak dua, jangan satu. Nanti komandan milih, gitu kan. Nah cuma dua itu. Ambil alih atau enggak kan begitu. Tapi, waktu itu sudah kita bahas. Kalau diambil alih, suasana negara waktu itu dolar Rp16.000 dari Rp2.400. Makanan kosong, rakyat menderita. Orang reformis masih ngotot presiden mundur. Harus ada pergantian rezim. Kan begitu? Saya mantan ajudan, mantan panglimanya presiden yang dapat surat dari Presiden dijatuhkan. Pasti mereka akan ngotot, karena ingin mengubah rezim orde baru dengan semua yang terlibat menjadi rezim yang baru.”
“Di sisi lain, di militer, juga ada namanya kir korban. Perkiraan korban jatuh kalau kita melaksanakan aksi. lalu, saya katakan, oke sekarang kita akan membuat negeri ini aman harus ada keputusan-keputusan yang diakui rakyat melalui DPR.”
“[Tapi] kalau kita mengosongkan DPR supaya DPR bisa bersidang, saya tanya Asintel waktu itu, Zeki Anwar Makarim. Berapa korban yang jatuh? Beliau menjawab, setelah ngitung-ngitung. Enggak tahu hitungannya gimana. Saya juga enggak tanya. Dia jawab kira-kira 200 sampai 250 mahasiswa akan mati.”
“Maka terakhir saat penutupan rapat itu [saya tanya] kepada Susilo Bambang Yudoyono, saat itu masih bintang tiga dan saya manggilnya bukan Pak SBY, belum. Manggilnya masih Bang. Ya Bang Gimana Bang kan gitu. Sekarang enggak berani.”
BACA JUGA
- Surat Terbuka Untuk Presiden Terpilih Prabowo Subianto
- Gibran Rakabuming Memerintahkan Prabowo Turun …
“Saya tanya gimana, Bang? Dia mengatakan apakah Bapak ambil lalih besok? Saya memberi keputusan tidak. Besok kita antarkan pergantian kekuasaan dari Presiden kepada wakil presiden. Sekarang buatkan pernyataan politik dari ABRI. Besok saya bacakan. Beliau nulis sampai 5. Satu sampai 5 poin itu saya bacakan setelah serah terima dari pak Soeharto kepada Pak Habibi.”
“Tapi, intinya, saya minta supaya rapat menerima itu. Kemudian rakyat diredakan emosinya supaya keamanan dipulihkan dan ABRI tetap mengakui pemerintah yang sah. Yang keempat, ya ini yang menjadi masalah kan. Berhubungan dengan Pak Harto.”
“Pada saat itu, saat kita sedang rapat, 2.000 mahasiswa dan pendemo berjalan dari gedung MPR menuju Cendana. Mereka ingin menghabisi presiden dan keluarga presiden. Keluarga [Presiden] sudah mempersenjatai diri dengan senjata-senjata otomatis. Jadi sudah dibagi senjata. Saya kemudian melihat kondisi itu. Wah bagaimana ini, masak presiden melawan rakyat.”
“Kemudian wartawan majalah Life datang ke saya mengatakan Pak Wiranto hati-hati, akan ada lagi korban ya akan dimunculkan di Cendana. Harus hati-hati. Maka saya perintahkan polisi untuk membuat barikade. Saya katakan buat barikade 50 m. Jangan sampai ada konflik langsung antara aparat keamanan dan demonstran. Saya pun tidak ingin rakyat Indonesia disebut barbar karena membunuh presidennya,”
“Sehingga, poin keempat yang saya tulis, saya ambil berdasarkan nilai luhur budaya bangsa. ABRI akan menjaga keselamatan para mantan presiden dan keluarganya. Tapi ini tidak mudah. Karena, waktu saya ingin menulis poin keempat itu, saya telepon dulu ke Mensesneg saat itu, Pak Moerdiono. Sudah almarhum.”
“Pak Mensesneg, ini kira-kira dasar hukumnya apa? Enggak ketemu. Dasar hukum mengamankan presiden dan keluarganya itu enggak ketemu. Akhirnya saya ambil it utadi, landasan etis saja. Budaya kita selalu mikul duwur mendem jero untuk para pimpinan kita, atasan kita. Maka, dengan berdasarkan nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan menjaga keselamatan para mantan presiden. Tidak hanya Pak Harto dan keluarganya. Ya kira-kira seperti itu.”
“Jadi, ini sebenarnya satu peristiwa yang cukup bersejarah. Di mana dalam keadaan kritis, TNI tidak ada sedikitp keinginan untuk mengambil alih kekuasaan.”