Minggu, 24 November 2024

KERUSUHAN MEI 1998 (2):  Konflik Rakyat dan Pemerintah

"Saya bertanya kepada Mayjen (purn) Zacky Anwar Makarim --saat itu Kepala Badan Intelijen ABRI-- berapa perkiraan korban mahasiswa kalau  gedung DPR yang dikuasai mahasiswa kita bersihkan. Sekitar 200 sampai 250 orang."

Hot News

TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Mei 1998 adalah peristiwa kerusuhan massa, demonstrasi anti-pemerintah, dan pembangkangan sipil di Indonesia pada bulan Mei 1998. Peristiwa ini terutama terjadi di kota Medan, Jakarta, dan Surakarta, dengan insiden-insiden kecil di wilayah lain di Indonesia.

Kerusuhan tersebut dipicu oleh korupsi, masalah ekonomi, termasuk kekurangan pangan dan pengangguran massal. Kerusuhan ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Terkait dengan itu, Tentangkita.co, akan mencoba untuk kembali membuka lembaran hitam sejarah Indonesia itu dalam tiga tulisan mulai hari Minggu (26/5) dengan mengutip pernyataan Menhan dan Pangab saat itu, Jenderal (purn) Wiranto. Itu diungkapkannya dalam sebuah acara bedah buku terkait peristiwa Mei 1998, pada 23 Mei 2023 di Jakarta.

*****

“Saya mencoba untuk  sedikit  mengelaborasi khusus [peristiwa]  tahun 1997 dan 1998. Saya akan coba mencari beberapa hal yang merupakan substansi dari peristiwa itu,” kata Wiranto.

Pada saat 1998   kita menghadapi satu peristiwa yang sangat serius.  TNI  waktu itu ABRI.  Berarti TNI plus Polri. “Waktu itu, saya, memang  ditakdirkan untuk  ada pada situasi seperti itu sebagai Menteri Pertahanan Keamanan merangkap panglima ABRI berarti saya mengomandoi TNI dan polisi dan memang begitu.”

“Jadi Pak Harto sebagai presiden selalu [begitu]. Kalau keadaan sudah agak kritis beliau  menyatukan dua lembaga itu.  Misalnya tahun 1972,  itu disatukan di bawah pimpinan Pak [Jenderal] M. Yusuf.  M. Yusuf Menhankam Pangab. Waktu itu juga dipisah lagi karena sudah aman. Begitu menjelang 98, beliau satukan lagi karena keadaan memang sangat kritis  dan barangkali ke depan enggak akan ada lagi  karena memang ABRI sudah menjadi TNI dan polisi sudah terpisah begitu.”

Waktu itu, kata Wiranto, dirinya  merasakan  kondisi sangat mencekam. “Mengapa demikian, karena kami  prajurit TNI itu  disumpah untuk selalu membela negara. Kami disumpah untuk  katakanlah mengamankan ideologi negara dan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi kita ke sana. Orientasi kita mengamankan  negara yang berdasarkan tadi [Pancasila dan UUD 1945].”

Negara itu, menurut  kamus yang  saya baca,  empat unsurnya. Di sana  ada wilayah, penduduk, pemerintah dan diakui negara lain. “Wilayah bukan negara kalau enggak ada penduduknya. Ada rakyatnya belum sah kalau tidak ada pemerintahnya. Harus ada pemerintah yang sah dan diakui oleh negara lain. Dengan empat unsur itu sehingga ada negara.”

“Saat itu, dua dari unsur itu sedang  berkelahi. Sedang enggak cocok. Sedang berkonflik antara si rakyat yang ingin  perubahan, reformasi dan si pemerintah  yang mempertahankan posisi pemerintah  untuk tidak ada perubahan Orde Baru.”

Lalu bagaimana TNI?  “Ya waktu itu, memang,  mau tidak mau kita juga harus menanggung beban. Karena waktu itu  para mahasiswa menganggap  TNI merupakan salah satu  alat  dari orde baru untuk mertahankan kekuasaan, tapi tidak seperti itu.”

“Saya menempatkan TNI betul-betul melihat bahwa kami harus mencoba untuk mengkompromikan kembali konflik antara rakyat dan pemerintah supaya tidak ada korban, tidak ada konflik yang berkepanjangan.”

Contohnya,  kata Wiranto,  dirinya tidak mau [pasukan ABRI] membersihkan gedung DPR yang dikuasai mahasiswa hanya agar DPR bisa bersidang. Sebab, kalau waktu itu gedung DPR  kita bersihkan, kata Wiranto bercerita,banyak orban.

“Saya bertanya kepada Mayjen (purn) Zacky Anwar Makarim –saat itu Kepala Badan Intelijen ABRI– berapa perkiraan korban mahasiswa kalau  gedung DPR yang dikuasai mahasiswa kita bersihkan. Sekitar 200 sampai 250 orang.”

Untuk itu, kata dia, ABRI memilih yang terbaik. “Kami melakukan suatu proses reformasi internal ABRI dulu.Polisi saya pisahkan. Saya keluarkan menjadi  lembaga yang mandiri. Kemudian  ABRI  tinggal tanpa polisi menjadi TNI [Tentara Nasional Indonesia] itu bagian dari reformasi  internal ABRI waktu itu.”

Kemudian   mengurangi  jumlah perwakilan, yang tidak dipilih,  di  DPR, di MPR.  Sehingga dari 75 menjadi, kalau enggak salah, 35 waktu itu dan akhirnya habis. “Enggak apa-apa silakan ya.”

“Dan kami kemudian menempatkan ABRI atau TNI  menjadi bagian dari pemerintahan sipil. Ada 14 langkah sebenarnya. Itu untuk meyakinkan bahwa  TNI atau ABRI  betul-betul tidak berpihak kepada siapapun. Tidak membela siapapun, tapi justru ingin  mengkompromikan, mendamaikan yang berkonflik antara dua unsur negara tadi.”

“Tugas ini tidak ringan. Sangat berat, karena kita sedang menghadapi  kondisi yang memang tidak menguntungkan barangkali. Bagi yang sekarang usianya sudah lewat 40  bisa merasakan saat itu. Adik-adik kita yang di bawah 40, yang masih anak-anak, pasti enggak bisa ikut merasakan situasi 98 yang sangat mencekam luar biasa beratnya untuk operasional.”

“Kemudian, kami pun mengeluarkan suatu  konsep untuk  melakukan satu pendekatan dengan kaum  reformis. Terutama yang dipelopori kaum mahasiswa.”

Pertama,  kami persuasif,  komunikatif,   edukatif,  kemudian menghindari kekerasan. “Tidak membawa peluru tajam dan sebagainya. Itu   prosedur yang dilaksanakan agar  tidak terjadi korban, agar  ABRI atau TNI  tidak dianggap berhadapan dengan rakyatnya membela pemerintah.”

Temukan Artikel Viral kami di Google News
Artikel Terkait
Terpopuler
Terbaru

Liga Inggris Minggu (24/11): Ipswich v Manchester United

TENTANGKITA.CO, JAKARTA - Laga Liga Inggris pada Minggu (24/11) akan menghadirkan pertarungan tim dengan nama besar sekaligus mempertaruhkan reputasi...