TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Kerusuhan Mei 1998 adalah peristiwa kerusuhan massa, demonstrasi anti-pemerintah, dan pembangkangan sipil di Indonesia pada bulan Mei 1998. Peristiwa ini terutama terjadi di kota Medan, Jakarta, dan Surakarta, dengan insiden-insiden kecil di wilayah lain di Indonesia.
Kerusuhan tersebut dipicu oleh korupsi, masalah ekonomi, termasuk kekurangan pangan dan pengangguran massal. Kerusuhan ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Terkait dengan itu, Tentangkita.co, akan mencoba untuk kembali membuka lembaran hitam sejarah Indonesia itu dalam tiga tulisan mulai hari Minggu (26/5) dengan mengutip pernyataan Menhan dan Pangab saat itu, Jenderal (purn) Wiranto. Itu diungkapkannya dalam sebuah acara bedah buku terkait peristiwa Mei 1998, pada 23 Mei 2023 di Jakarta.
BACA JUGA
- Ratusan Aktivis Nasional Gelar Tribute To Akbar Tanjung
- Surat Terbuka Untuk Presiden Terpilih Prabowo Subianto
*****
Siapa yang tidak kenal Jenderal (purn) Wiranto? Rasanya tak banyak yah. Lantaran, pria kelahiran 4 April 1947 dan lulusan Akademi Militer Nasional 1968, salah satu sosok yang kerap didapuk menduduki banyak jabatan penting di negeri ini. Setidaknya oleh empat presiden: Seharto, B.J Habibie, Abdulrrahman Wahid [Gus Dur] dan Joko Widodo [Jokowi].
Dia pernah menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Menhankam sekaligus Panglima ABRI, Menkopolhukam dan kini Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
Dia pula yang menjadi salah satu saksi dan mempunyai peran penting dalam konteks peristiwa besar yakni perubahan dari era Orde Baru ke Orde Reformasi, sejarah besar terakhir –jika boleh dikatakan demikian– di negeri ini.
Tak ayal, saat dia memberikan kesaksian tentang beragam kisah dalam peristiwa Mei 1998 saat angin perubahan dari era Orba ke Reformasi berlangsung, menjadi penting. Akurasinya, bisa dipastikan, tak diragukan lagi.
BACA JUGA
- Ini Prediksi Kondisi Ekonomi Indonesia Pada 2025
- Isu Dinasti Politik Ditanggapi Jokowi, Gibran Dan GM
Terutama perannya sebagai Menhan dan Pangab (1998–1999) saat ABRI berjuang dalam peristiwa berdarah dan mencegah tidak lebih parah dalam konflik pemerintah saat itu dan rakyatnya. “Si rakyat yang ingin perubahan Reformasi dan si pemerintah yang mempertahankan posisi pemerintah untuk tidak ada perubahan Orde Baru,” ujarnya dalam bedah buku “Perjalanan Prajurit Polisi Militer yang Tak Pernah Berhenti Mengabdi untuk Bangsanya” yang ditulis oleh mantan Danpuspom TNI, Mayjen (purn) Hendardji Soepanji. “Saat itu, mahasiswa menganggap ABRI adalah alatnya pemerintah Orde Baru yang ingin mempertahankan kekuasaan,” tuturnya.
TNI vs DPR (?)
Dalam kenangan Wiranto, peristiwa 1998 itu, bukan peristiwa biasa. “1998 satu peristiwa yang sangat serius,” kenangnya. “Keadaan sangat kritis. Sangat mencekam.”
Misalnya, Wiranto menghadapi peristiwa jelang Presiden Seharto berhenti dari jabatannya. Pada 16 Mei 1998, kata dia, setelah Presiden kembali dari Mesir, atas desakan mahasiswa, Ketua DPR waktu itu Harmoko bersama Abdul Gafur dan [anggota DPR dari Fraksi ABRI] Sarwan Hamid menghadap Presiden Soeharto. Mereka mengatakan: “Pak, Bapak sebaiknya mundur saja atas desakan mahasiswa.”
Di sana terjadi tawar-menawar antara mereka [juga] dengan kami TNI. “Tapi, saya mendapatkan satu pemahaman, DPR atas desakan mahasiswa tidak bisa meminta presiden mundur.”
Waktu itu, berdasarkan Undang-Udang Dasar 1945, Presiden itu diangkat dan diberhentikan oleh MPR. Lembaga tertinggi negara itu yang bisa memberhentikan. “Yang bisa minta berhenti adalah MPR. Dengan apa? Dengan mencabut mandat kepada Presiden, maka waktu itu MPR adalah lembaga tertinggi negara yang memberi mandat kepada Presiden.”
“Mereka yang milih Presiden, memilih Wakil. Presiden diberi mandat, maka Presiden adalah mandataris MPR. Dia jatuh, dia berhenti kalau mandat dicabut.”
“Saya kemudian menghadap Presiden,” kata Wiranto. “Pak, [terkait] atas desakan DPR, mungkin ABRI bersikap kami akan tetap mempertahankan pemerintah yang sah dan tidak akan mempertahankan lagi apabila MPR telah mencabut mandat dari bapak presiden.”
“Jadi sekarang mempertahankan pemerintah, bukan mempertahankan presiden, mempertahankan pemerintah yang sah waktu itu.”
“Waktu itu, saya menambahkan. Pak kami akan tetap mendukung pemerintah yang sah, tetapi kalau ini berkepanjangan, saya katakan, maka korban akan berjatuhan dan lebih banyak lagi.”
Wiranto mengatakan, saat itu, tanggal 16 Mei 1998 malam, Presiden Soeharto menjawab. “Beliau mengatakan saya tidak ingin rakyat menjadi korban. Saya tidak akan mempertahankan kekuasaan dengan alat-alat senjata itu.”
“Saya catat waktu itu. Kemudian proses berlanjut. Beliau ingin mereformasi. Ternyata ada menteri yang tanda tangan untuk tidak bersedia masuk ke kabinet reformasi kalau ada reformasi.”
“Ada 14 menteri. Saya enggak usah sebut namanya, tapi sekarang masih ada. Para para penandatangan itu masih ada. “
Kemudian, kata dia, beliau juga ingin membentuk satu dewan reformasi yang terdiri para tokoh-tokoh negara waktu itu termasu Gus durur, Amin Rais, Nurcholis Majid dan sebagainya. “Tapi, akhirnya, mereka juga mundur. Presiden, menurut saya, [saat itu] sudah dalam kesendirian.”