TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Pemerintah memperbanyak lembaga yang memiliki wewenang menetapkan kehalalan produk (sertifikasi halal) dari semula hanya Majelis Ulama Islam (MUI) Pusat.
Hal itu ditetapkan dalam Ratas yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membahas mengenai percepatan kewajiban sertifikasi halal di Istana Merdeka, Jakarta.
“Dalam rapat dengan Bapak Presiden terkait dengan revisi PP 39 Tahun 2021 yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan dengan perubahan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut diatur beberapa perubahannya. Salah satunya perluasan kewenangan kehalalan produk, tidak hanya oleh MUI pusat tetapi juga MUI provinsi, MUI kabupaten/kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, dan oleh Komite Fatwa Produk Halal,” ujar Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam keterangan persnya, di Setkab.go.id, Sabtu (18/5).
Daftar Lembaga Yang Berwenang Tetapkan Kehalalan Produk
- MUI Pusat
- MUI Provinsi
- MUI Kabupaten/Kota
- Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh
- Komite Fatwa Produk Halal
BACA JUGA
- Sertifikat Halal: Oktober 2024, UMKM Kuliner Wajib Miliki
- Cara Mudah Mengurus Sertifikasi Halal Reguler dan Self Declare
Menurut Airlangga, dalam perubahan juga akan ditambahkan lingkup inspeksi terhadap tempat lainnya untuk pemotongan hewan/unggas selain rumah potong hewan (RPH). Selain itu juga akan dilakukan sinkronisasi peraturan di Kementerian Pertanian (Kementan) dengan peraturan di Kementerian Agama (Kemenag).
Kemudian, penetapan kehalalan produk, dilakukan berdasarkan standar fatwa halal yang ditetapkan oleh pemerintah. Termasuk pembentukan Komite Fatwa Halal yang terdiri atas unsur akademisi dan ulama yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
“Selama ini diatur dalam PP 39, [peraturan] Kementan ayam hanya dipotong di RPH, tetapi ditambahkan di sini tempat lainnya untuk pemotongan hewan dan unggas. Artinya di pasar basah dia bisa dipotong,” ujarnya.
Menko Perekonomian mengatakan, berdasarkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 39 Tahun 2021 kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan akan selesai pada 17 Oktober 2024.
Namun, pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal belum mencapai target dan masih banyak produk usaha mikro dan kecil (UMK) yang belum tersertifikasi.
Penerbitan sertifikat halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sejak 2019 untuk semua jenis produk per 15 Mei 2024 baru mencapai 4.418.343 produk, atau 44,18 persen dari target 10 juta produk. Adapun total jumlah UMK yang ada di tanah air mencapai sekitar 28 juta unit usaha.
“Bapak Presiden memutuskan bahwa untuk UMKM makanan minuman dan yang lain, itu pemberlakuannya diundur tidak 2024 tetapi 2026. Itu disamakan dengan obat tradisional, herbal dan yang lain, kemudian juga produk kimia, kosmetik juga 2026, kemudian aksesoris, kemudian barang gunaan rumah tangga, kemudian berbagai alat kesehatan, dan juga terkait dengan hal yang lain itu yang berlakunya 2026. Jadi khusus UMKM, itu digeser ke 2026,” ujarnya.
Airlangga menambahkan, pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, hasil penyembelihan, dan jasa penyembelihan setelah 17 Oktober 2024 tetap diberlakukan untuk pelaku usaha menengah dan besar, direlaksasi untuk pelaku UMK sampai 17 Oktober 2026, dan direlaksasi untuk produk impor sampai 17 Oktober 2026 berdasarkan mutual recognition agreement (MRA).
Terkait dengan produk dari berbagai negara lain, maka akan diberlakukan setelah negara tersebut menandatangani MRA dengan Indonesia. “Tadi dilaporkan oleh Pak Menteri Agama saat sekarang ada 16 negara sudah melakukan MRA. Bahkan negara yang sudah melakukan MRA itu diberlakukan karena halalnya disertifikasi di negara asal sehingga barangnya bisa masuk. Namun, bagi negara yang belum menandatangani MRA ini belum diberlakukan,” tandasnya.”