TENTANGKITA.CO– Upaya untuk mengurangi produksi emisi karbon terus didorong oleh pemerintah. Setidaknya terdapat empat sektor penyumbang emisi karbon tertinggi yang menjadi prioritas, yakni sektor energi, agroindustri, industri, dan limbah.
Melalui POJK Nomor 14 Tahun 2023 Tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon dan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 12/SEOJK.04/2023 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon, tertera kebijakan jual beli emisi karbon. Kebijakan bursa karbon ini ditujukan untuk mendorong perusahaan atau sektor industri untuk meningkatkan upaya pengurangan produksi emisi karbon.
“Kita berhadapan dengan sesuatu yang tidak nampak. Mungkin dampaknya akan terasa, tapi pemicunya, yaitu emisi karbon ini kan tidak nampak. Dalam sektor industri, kan ada ketentuannya, ketika perusahaan dibangun dampak lingkungan seperti apa yang disebabkan dengan keberadaan perusahaan itu. Maka kemudian munculah ide, bagaimana kalau kita memberikan nilai ekonomi pada emisi karbon,” ucap Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D.
BACA JUGA:Asyik Sejuk Segar!! BMKG Prediksi Sebagian Jakarta Diguyur Hujan Nanti Malam
Pada prinsipnya, pemerintah merancang sistem pengukuran dan ambang batas produksi emisi karbon dalam satu kegiatan usaha. Bagi perusahaan/badan usaha yang terbukti menghasilkan emisi karbon di atas ambang batas, akan dikenai sanksi. Sedangkan bagi yang berhasil menghasilkan emisi karbon di bawah ambang batas, maka terdapat kredit karbon dalam usaha tersebut.
Kredit karbon merupakan selisih antara ambang batas dengan emisi karbon yang dihasilkan. Kredit karbon ini kemudian diverifikasi dan diuji, hingga berhak mendapatkan sertifikat yang menjelaskan bahwa usaha tersebut menghasilkan emisi karbon lebih sedikit.
“Bagi perusahaan yang memproduksi emisi karbon di atas ambang batas, maka dia harus membeli atau memberikan insentif bagi usaha yang tersertifikasi ini tadi. Lalu muncul pertanyaan, kalau begitu dia bisa tetap produksi emisi karbon berlebih hanya dengan memberi insentif ke usaha lain? Bukan begitu, jadi ada batasan tertentu sampai mana perusahaan ini bisa terus membeli. Karena tujuannya adalah, supaya perusahaan yang memproduksi emisi berlebih ini bisa mencontoh dan mempraktekan dari usaha yang rendah produksi emisinya,” ucap Poppy.
Upaya kebijakan jual beli emisi karbon ini dinilai tidak hanya mendorong industri untuk memberlakukan pengurangan emisi karbon, namun juga membuka peluang yang luas untuk investasi.
Tentunya aplikasi kebijakan bursa karbon ini menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Bursa karbon ini diaplikasikan tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di beberapa negara. Dan pelaku usaha boleh memperjualbelikan kredit karbon tersebut lintas negara. Aturan ini memungkinkan sebuah perusahaan memilih negara dengan ambang batas emisi karbon paling tinggi untuk menghindari regulasi. Maka dari itu, kebijakan baru ini perlu dikawal dengan menutup celah-celah potensi pelanggaran dan memastikan efektivitasnya.
“Untuk mengawal itu, Kementerian Lingkungan Hidup sudah merancang MRV atau Measurement, Reporting, and Verification. Sistem untuk melapor dan memverifikasi. Jadi apakah peraturan ini berjalan dengan baik, dilihatnya dari situ. Kita bisa melihat apakah ada kecurangan atau pelanggaran. Pihak yang mengeluarkan memang negara, tapi yang melakukan verifikasi adalah ahli yang memiliki sertifikasi. Ini adalah salah satu cara untuk mengawal peraturan ini. Tapi tentunya dibutuhkan komitmen bersama yang kuat,” tambah Poppy.