TENTANGKITA.CO – Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rangkabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo [Jokowi], dan Goenawan Mohamad (GM) menanggapi tentang isu Dinasti [Keluarga].
Isu ini merebak pascakeputusan MK 90/PUU-XXI/2023 Tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Surat MK 90 itu isinya:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”;
Baca Juga
- Seram, Kata Yusril Ini Implikasi Biarkan Polemik Keputusan MK Berlarut-Larut
- Kepala Daerah Boleh jadi Capres Meski Belum 40 Tahun, Ini Perbedaan Pendapat Hakim Mahkamah Konstitusi
Gibran, yang pascakeputusan itu akhirnya menjadi Cawapres dari Capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yakni Prabowo Subianto, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra.
Masyarakat menduga, keputusan MK itu untuk melapangkan jalan Gibran maju sebagai Cawapres Prabwo. Terlebih Ketua Mahkamah Konstitusi itu adalah paman Gibran, suami dari adik Joko Widodo.
“Membenci Dinas X, tapi mendukung Dinasti Y, sambil menyiapkan lahirnya Dinasti C.” Demikian isi kutipan twitter Gibran @Gibranrakabumi, Selasa (24/10).Baca Juga
- Ini Sikap Pakar UGM Terkait Putusan MK Soal Batas Usia Capres Cawapres
- Mahkamah Konstitusi (MK) Bentuk Majelis Kehormatan, Begini Respons Mahfud MD
Sementara itu, melalui twitter @gm_gm, Goenawan Mohamad, dengan background penulis, perupa, pengurus Komunitas Salihara, Jalan Salihara 16, menulis:
Mengapa pergantian pimpinan dgn sistem dinasti harus ditolak?
1. Tak adil. Sistem ini tak akan beri kesempatan kpd orang yg bukan keturunan presiden/raja. Meskipun ia memenuhi syarat.
2. Sistem ini bertolak dari anggapan, bhw tahta/jabatan sudah dgn sendirinya terisi oleh para pangeran — yg belum tentu bermutu. Pengalaman sejarah Mataram dll menunjukkan bhw sang pengganti penguasa bisa orang yg buruk dan zalim. Apapun cacat demokrasi, ia bisa mencegah kemerosotan karena seleksinya ttg pemimpin membuka bakat2 baru di masyarakat luas.
Baca Juga
- MK Bentuk Majelis Kehormatan, Ini Profil 3 Tokoh yang Ditunjuk
- Yusril Mahendra Soal Keputusan MK, Bukti Bukan Mahkamah Keluarga
Ini Reaksi Jokowi
Sementara itu, Presiden Jokowi berpendapat isu dinasti politik ini nantinya akan kembali ke penilaian masyarakat. “Hasil pemilu tidak ditentukan oleh elite-elite politik, tapi oleh rakyat sendiri,” ujar ya Jokowi di Hutan Kota Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (24/10/2023).
“(Yang menentukan) bukan kita, bukan elite, bukan partai, itulah demokrasi,” kata Jokowi.