TENTANGKITA.CO– Pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun Panji Gumilang kembali menegaskan jika dirinya mengikuti mazhab Bung Karno (Soekarno).
Hal ini ia lontarkan saat mengisi acara peringatan 1 Muharram 1445 H di Masjid Al Rahmatan Lil Alamin Al Zaytun, Rabu 19 Juli 2023.
“Kalai kita pakai mazhab bung karno nggak salah-salah amat,” katanya.
Panji tidak menjelaskan apa maksud dari mazhab, apakah sama seperti umat Islam keumuman yang hanya mengenal 4 mazhab yakni Maliki, Syafii, Hambali, Hanafi.
Baca Juga: Pemegang KPDJ 2023 Bisa Dapat Tambahan Bantuan ABF, Ini Syarat Dari Dinsos DKI
Namun, Panji melemparkan jawaban atas pernyataan ini untuk lebih dijelaskan lagi maksudnya oleh para akademisi.
“Perlu dijabarkan oleh dosen UIN, kalau kita ngomong saja,” katanya.
Ia mengaitkan dengan Soekarno, saat Panji membicarakan sosok pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie yang diundang dalam acara tersebut.
Baca Juga: Panji Gumilang Kenalkan Salam Baru Shalom Haverim, Lagi-lagi Gunakan Bahasa Ibrani
Menurut Panji, Connie Bakrie adalah seorang perempuan Indonesia yang hebat karena pernah diundang Presiden Rusia, Vladimir Putin.
“Ini satu satunya perempuan Indoneisa yang bisa duduk di samping Putin,” katanya.
Vladimir Putin, kata dia, menerapkan ide-ide Soekarno dalam memimpin Rusia tentang kemandirian sebuah negara.
Baca Juga: Pramusim Liga Inggris 2023/2024: Arsenal vs Tim Para Bintang MLS 5-0
“Ternyata ide Bung karno, jadi nggak salah kalau kita pakai mazhab Bung Karno,” katanya.
Pro Kontra
Sebelumnya, pernyataan Panji Gumilang dengan Mazhab Bung Karno ini juga sempat ramai saat ia ditanya soal dasar tidak dipisahnya saf Salat Idul Fitri 1444 H.
Video soal ini diunggah akun Instagram @kepanitiaanalzaytun pada 22 April 2023 dan menjadi viral dengan pro kontranya.
Menurutnya, ajaran itu didapat dari membaca buku Bung Karno yakni Di Bawah Bendera Revolusi.
Baca Juga: Aturan Baru KJP Bulan Agustus 2023 yang Mungkin Cair Tanggal 1 – 7 Agustus dari P4OP dan Disdik DKI
Dalam buku tersebut terdapat kisah Bung Karno memprotes penerapan tabir atau penutup antara jemaah laki-laki dan perempuan oleh Muhammadiyah, ormas yang diikuti olehnya.
Bung Karno, lanjutnya, memandang tabir sebagai praktik perbudakan sehingga harus dihapuskan.
“Saat kongres ke-28 di Medan, (Bung Karno) menulis tentang itu. Akhirnya menjadi ketetapan bahwa tabir tak harus dijalankan, baik itu pertemuan atau di salat,” katanya.