TENTANGKITA.CO– Penyakit jantung merupakan penyebab kematian dan kesakitan nomor satu di dunia. Menurut laporan WHO tahun 2011, lebih dari 17 juta orang meninggal disebabkan karena penyakit jantung pada tahun 2008. Bahkan, lebih dari 3 juta kematian ini terjadi sebelum usia 60 tahun.
Demikian ujar Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. dr. Lucia Kris Dinarti, Sp.PD (KKV), Sp.JP (K)., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Kardiologi Kedokteran Vaskuler beberapa waktu lalu, usai menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar yang berjudul Pulmonary Arterial Hypertension sebagai Komplikasi Penyakit Jantung Bawaan: Tata Laksana Komprehensif dari Prevensi hingga Rehabilitasi.
Menurut Lucia, penyakit jantung dapat dikategorikan menjadi dua yakni dalam penyakit jantung dapatan dan Penyakit Jantung Bawaan (PJB). Penyakit jantung dapatan merupakan penyakit jantung yang terjadi karena paparan faktor lingkungan dan gaya hidup yang terjadi setelah lahir, misalnya penyakit jantung koroner, penyakit jantung katup, dan gagal jantung.
BACA JUGA:Justin Hubner Cerita Saat Timnas Indonesia Kalah 0-4 dari Libya
Sedangkan, penyakit jantung bawaan merupakan penyakit jantung yang terjadi akibat abnormalitas perkembangan jantung saat masih dalam janin dan berlanjut hingga setelah lahir.
Salah satu penyebab timbulnya penyakit jantung akibat prevalensi Pulmonary Arterial Hypertension (PAH). Adapun Pulmonary Hypertension (PH) merupakan suatu peningkatan tekanan dalam sirkulasi pulmonal yang disebabkan oleh proses remodeling dan inflamasi vaskuler pulmonal.
Namun, belum adanya sistem deteksi dini di Indonesia yang diterapkan pada anak-anak sehingga sebagian besar anak dengan keluhan ringan, tidak terdiagnosis dengan tepat. Sampai saat ini, deteksi dini kesehatan pada anak-anak tidak secara spesifik mendeteksi kelainan bawaan pada jantung.
Padahal di negara maju, seperti Jepang misalnya, deteksi dini untuk PJB telah dilakukan secara berjenjang mulai dari masa janin, bayi, anak-anak dan usia sekolah.
“Dengan melakukan metode deteksi dini berjenjang tersebut, PJB dapat diketahui sejak dini sebelum muncul manifestasi klinis yang lebih berat, sehingga dapat dilakukan tindakan penutupan. Di negara Jepang, keberhasilan deteksi dini berjenjang tersebut menurunkan secara drastis angka kejadian PJB pada usia dewasa,” katanya.
Banyaknya penderita PJB pada usia dewasa di Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya menunjukkan kurangnya deteksi dini atau skrining pada saat awal masa kanak-kanak bahkan pada bayi. Meski saat ini deteksi PJB kritis pada bayi baru lahir dengan menggunakan metode pulse oxymetry sudah mulai dilaksanakan dan sudah diadopsi oleh Kementrian Kesehatan menjadi program Nasional.
Lucia menyebutkan, sejak tahun 2012, telah dilakukan suatu Registri Penyakit Jantung Bawaan dan PH pada pasien usia di Fakultas Kedokteran UGM dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Hingga November 2023 ini, telah terdaftar 2171 orang pasien dewasa yang menderita PJB. Mayoritas PJB adalah Atrial Septal Defect (ASD) diikuti Ventricel Septal Defect (VSD) dan Patent Ductus Arteriosus (PDA) dan serta PH Primer (6%), 70% diantaranya sudah mengalami PAH ringan hingga berat bahkan Sindrom Eisenmenger pada usia yang relatif muda.
Dari registry tersebut menunjukkan bahwa mayoritas adalah perempuan (76%) dan 72% nya adalah datang pada usia mampu hamil (72%). Tim Cohard PH juga mengumpulkan data kehamilan dengan penyakit jantung di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta dimana dalam 5 tahun terakhir ternyata PJB menyumbang 53% dari seluruh penyakit jantung pada kehamilan.
“Data ini menyokong fakta bahwa saat ini penyakit jantung berperan sebagai penyebab kesakitan dan kematian ibu hamil. Data di RSUP Dr Sardjito tersebut menunjukkan bahwa ibu hamil dengan PJB mayoritas adalah ASD yang sebagian besar sudah mengalami Pulmonary Hypertension,” paparnya.
BACA JUGA:Dinsos DKI Akan Umumkan Pendaftaran DTKS Bansos KLJ, KAJ, KPDJ, KPARJ 2024 Lewat Medsos
Untuk mengurangi angka prevalensi PJB pada usia dewasa, kata Lucia, tindakan preventif berupa penemuan awal penderita PJB sejak masa kanak-kanak perlu dilakukan melalui program skrining dini yang sederhana, aplikatif dapat diterima oleh anak-anak, keluarga dan masyarakat, dan efektif. Sebab, pada masa kanak-kanak belum muncul adanya gejala dan tanda yang khas, namun dengan metode pemeriksaan jantung yang sederhana dapat dideteksi dan ditindaklanjuti dengan penanganan secara korektif sehingga tidak menimbulkan komplikasi di masa dewasa.
“Sampai saat ini, skrining atau deteksi dini PJB belum menjadi program deteksi dini rutin pada masa kanak-kanak yang dilakukan di Indonesia karena belum adanya metode yang sederhana, aplikatif dan efektif,” katanya.
Peran skrining PJB dimulai saat kelahiran, anak usia sekolah, remaja, calon pengantin maupun ibu hamil harus dimulai dari sekarang. Menurutnya, DIY sebagai inisiator program skrining PJB ini selayaknya dieskalasikan menjadi program nasional sehingga komplikasi Pulmonary Hypertension dapat diminimalkan. Ketersediaan obat yang masih sangat terbatas baik macam maupun jumlahnya perlu menjadi perhatian Pemerintah Pusat agar rasa keadilan dalam penanganan penyakit ini dapat terpenuhi.