Oleh Iwan Sanusi
TENTANGKITA.CO – ANDAI KITA, ya kita… saya dan Anda… hidup sezaman dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW).
Andai, banyak hari-hari kita lalui dengan menyaksikan—lewat mata kepala sendiri, mendengar dengan telinga sendiri—perilaku manusia agung itu?
Andai, kita ditakdirkan Tuhan dengan kenyataan itu. Kira-kira, kita—Anda dan saya—ikut Kanjeng Nabi Muhammad atau malah jadi follower-nya Abu Jahal….?
Memangnya gampang menjadi pengikut Nabi kala itu?
Sangggupkah kita hidup layaknya Sayyidina Abubakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman, Sayyidina Ali dan sahabat-sahabat lainnya?
Renungan seperti di atas sebenarnya bukan murni pemikiran sendiri. Adalah Kiai Mustafa Bisri, yang ‘memasukkan’ dengan paksa ke dalam kepala ini. Tidak langsung, tapi lewat YouTube.
NGAJI BUYA ARRAZY: Benarkah Imam Mahdi (Turun) dari Indonesia?
Gus Mus, begitu simbah yai Mustafa Bisri lebih dikenal, bicara seperti tentang ‘andai andai’ saya di atas itu ketika haul Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid ke-10 di Ciganjur pada 20219.
Kalau tak khilaf, sepertinya saya juga ke Ciganjur waktu itu dengan seorang teman. Cuma, rumah Gus Dur sudah penuh. Kami berdua tak diperkenankan masuk. Akhirnya, ya, pulang lagi deh. Makanya, YouTube yang jadi pilihan untuk tahu isi haul Gus Dur itu.
Seingat saya lagi, sepertinya ceramah Gus Mus di haul Gus Dur itu pernah saya dengar. Tapi entah kenapa yang menyangkut ‘hidup pada zaman Nabi’ seperti terlewat.
Saya baru ngeh lagi pekan lalu, beberapa hari menjelang Maulid Nabi Muhammad. Saya cuplik ya hujjah-hujjah Gus Mus itu di sini ya…
“Saya sendiri pernah ngelamun. Wah kalau saya ditakdirkan hidup zaman Rasulullah Nabi, enak sekali saya. Gak usah baca Quran, ngapalin Quran. Saya tinggal liat Kanjeng Nabi saja. Bagaimana (beliau) bergaul dengan Allah, bagaimana bergaul dengan manusia, bagaimana bergaul dengan istri, dan lain sebagainya. Tinggal lihat saja.”
Kesaksian Gus Mus: Kiai Ali Maksum Itu Wali, Cerita Kertas Folio Sakti
“Tapi akal sehat saya yang ngamuk dalam hati. Halah dapurmu (tampangmu), ngelamun mau hidup zaman Rasulullah. Potongan kamu ini kalau ditakdirkan hidup zaman Rasulullah, gak akan ikut Rasulullah, pasti ikut Abu Jahal. Potonganmu, mesem (senyum) saja gak bisa…. mesem saja gak bisa. Lihat saudaranya, seperti macan melihat mangsanya.”
“Wong khotbah… khotbah,…. khotbahnya dalil tentang surga kok petentengan (bicara dengan keangkuhan). Itu gak paham saya. Ngajak ke surga kok mendelik (dengan melotot).”
“Ayo ke surga…. ayo ke surga, kalau ndak saya keplok ndasmu (pukul kepalamu).”
Di video itu Gus Mus berbicara dengan mimik layaknya orang marah. Gerakan tangannya menunjuk-nujuk ke sana kemari.
Buat saya, gestur tubuh Gus Mus dan mimik wajahnya benar-benar mewakili rasa dalam hatinya. Tapi saya tidak merasakan ada nada tinggi dan gaya petentengan.
NASIHAT USTADZ ADI HIDAYAT: Kalimat Nabi Yunus Untuk Mempercepat Doa Dikabulkan
Gus Mus… Gus Mus. Njenengan kan, gitu-gitu juga, pernah jadi Rais Aam (pemimpin tertinggi) Nahdlatul Ulama, meski sebentar. NU itu organisasi masa Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia lho.
Wong Gus Mus saja merasa begitu…. apatah lagi sayah?
Belum selesai urusan dengan Gus Mus, di timeline Twitter saya mejeng postingan dari akun @sanad_media. Isinya kutipan ceramah singkat Syaikh Ali Jumah, ada yang menulis Syaikh Ali Gomaa.
Beliau adalah Grand Mufti Republik Arab Mesir periode 2003—20213. Ulama besar dong, pasti, kalau melihat jabatannya. Salah satu buku doktor lulusan Al Azhar ini ada di almari rumah. Judulnya Menjawab Dak’wah Kaum Salafi.
Video pendek itu di awali dengan pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Ali Jumah.….
“Jika Anda ditakdirkan hidup pada zaman Rasulullah SAW, apa yang akan Anda lakukan? Apa yang akan Anda lakukan jika Anda hadir saat Rasulullah SAW pertama kali tiba di Kota Madinah?”
Hmmm, videonya sih dalam bahasa Arab. Cuma, akun @sanad_media sudah menyiapkan running text dalam bahasa Indonesia. Makanya saya jadi mahfum.
Karena videonya pendek, saya kutipkan langsung saja jawaban Syaikh Ali Jumah ya….
“Jika saya hadir… pada hari itu, saya akan bersembunyi di belakang pohon atau tembok. Saya hanya akan mengawasi dari jauh. Ini karena keadaan (kejelekan) kita diketahui oleh Baginda Rasulullah SAW.
Memandang dan berada di samping beliau hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mulia. Sedangkan kita tidak bisa mencapai derajat tersebut. Andai kita bisa mencapai derajat tersebut, Allah akan menciptakan kita di zaman tersebut.
Saya yakin, andai saya hadir pada hari itu, dengan segala kekurangan ini, saya akan bersembunyi di belakang pohon atau kebun. Hanya mengawasi Nabi dari jauh, karena kemuliaannya…, keindahannya…., kesempurnaannya.”
Dua ulama besar di atas, ternyata, masih merasa gimana gitu kalau seandainya hidup zaman Rasulullah. Tentu bukan mereka tidak kepengen menjadi pengikut setia Kanjeng Nabi Muhammad seperti para sahabat. Tapi lebih merasa, “mampu gak ya…”
Jadi, gimana lagi saya—bukan kita, jadi Anda tidak termasuk….?
Pendapat 11 Ulama Indonesia soal Hukum Muslim Mengucapkan Selamat Natal