TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai Nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara, menggambarkan wilayah yang luas tidak hanya Pulau Jawa.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM Arif Akhyat mengatakan Nusantara sudah dikenal sejak era Kerajaan Singosari dan Majapahit.
Pada masa Singosari kata nusantara digunakan untuk merujuk wilayah pulau luar.
“Nusantara dibedakan dengan dvipantara yakni dvipa yang artinya Jawa,” ujar dia.
BACA JUGA: Harga Minyak Goreng Rp14.000 per Liter, Warga Tidak Kebagian Stok dan Pembelian Dibatasi
Pada masa Majapahit, nusantara adalah konsep geopolitik untuk mengidentifikasi suatu wilayah yang meliputi Bali, Malayu, Madura dan Tanjungpura.
Wilayah-wilayah tersebut juga termasuk Singapura, Malaysia. Juga wilayah Sumatra, Borneo, Sulawesi dan Maluku, Lombok, Timor. Bahkan hingga Champa, Cambodia, Annam dan Siam.
“Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yg sekarang disebut Indonesia. Dengan sedikit ulasan tadi sebenarnya, nusantara, bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa,” kata Arif.
BACA JUGA : Infeksi Harian Covid-19 Tembus 1.700 Kasus, Puncak Omicron Februari-Maret
Kata nusantara untuk penamaan suatu wilayah tidak mengandung perspektif negatif atau positif. Ini hanya kata untuk menyebut wilayah di luar Jawa.
“Jika diberikan nama itu untuk IKN ya itu soal nama. Tetapi bagaimana tafsir nama itu digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, keadilan pembangunan,” ujar dia.
Menurut dia pemindahan ibukota bukan hanya soal nama.
BACA JUGA: Kasus Omicron di Jakarta Melesat, Pembelajaran Tatap Muka Lanjut Gak Nih?
Namun pemindahan ini harus disiapkan secara komprehensif dan multidisipliner, bukan hanya retorika politik dan praktik politik mercusuar.
Presiden Soekarno dulu juga bercita-cita memindahkan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan.
Motif Presiden Soekarno memindahkan ibukota tentu berbeda dengan motif Presiden Jokowi saat ini.
Indonesia menurut dia pernah mengalami beberapa kali pemindahan ibukota.
Saat dipindah ke Yogyakarta pada 1946, latar belakangnya adalah situasi Jakarta yang tidak aman dan di bawah ancaman agresi militer Belanda.
BACA JUGA: Ini Cara Pengobatan Alami untuk Sakit Radang Tenggorokan
Saat wacana pemindahan ibukota ke Palangkaraya pada 1957, saat itu dimungkinkan karena adanya intrik politik militer dengan gerakan separatisme dari berbagai daerah, sehingga Jakarta tidak aman.
“Pemindahan ibukota ini bukan hanya relevan atau tidak. Melainkan urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan,” ujar dia.
“Kebijakan makro dalam konteks pembangunan, termasuk perpindahan ibu kota jangan sampai ahistoris dan bersifat politis,” jelas dia.
Nama baru untuk ibukota, menurut Arif sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya.
BACA JUGA: Pingong Abdel vs Desta, Perang Urat Syarat Terus Berlanjut
Sebab bila terjadi pemilihan nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya.
“Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi Ibu Kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu,” ujar dia.