TENTANGKITA.CO, JAKARTA — Bagi seorang Sapto HP, menulis puisi seperti hiburan di tengah kerutinan kerja kewartawanan yang mesti menghadapi beragam isu secara bersamaan.
“Hiburan, kan, diperlukan pekerja media yang pasti sering menghadapi beragam isu, klarifikasi, dan konfirmasi yang sering gagal dipahami,” kata Sapto kepada tentangkita.co.
Beragam peristiwa dan pernyataan-pernyataan yang diperlukan untuk bahan berita itu, menurut dia, tidak jarang bikin jengkel, pengen ngakak, tersenyum getir dan lain-lain.
“Itu bahan baku puisi juga, ternyata. Maka, dari 66 puisi yang ada dalam ada yang berupa rayuan, kejengkelan, rasa marah, rasa senang, dan ada juga bercandanya,” kata dia.
Sapto HP, lulusan jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran (Fikom Unpad) tahun 1993 merilis kumpulan puisi yang diberi tajuk Puisi untuk Kopiku pada Januari 2025.
“Semoga kumpulan tulisan itu memang bisa disebut puisi. Maksudnya cuma buat menghibur. Tidak sampai untuk mempengaruhi dan mendidik,” ungkap Sapto HP.
Dunia tulis menulis sudah digeluti oleh Sapto sejak tahun 1993 selepas dia lulus dari Unpad dengan bergabung menjadi jurnlais di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Dia pernah mendapatkan tugas di Biro Batam-Singapura pada tahun 2003 sampai dengan 2005.
Dia kembali ditugaskan ke luar kota tepatnya Biro Jawa Barat pada kurun 2010—2018. Sapto HP lantas balik kembalik ke Jakarta sebagai Redaktur Pelaksana mulai 2018 sampai pensiun pada tahun 2024.
Sapto HP menuntaskan jenjang pendidikan sekolah di Jakarta antara lain di SMP Negeri 74, Rawamangun, dan SMA Negeri 31, Kayumanis. Keduanya berada di wilayah Jakarta Timur.
Berikut ini beberapa cuplikan bait puisi Sapto HP:
Suatu Malam di Tengah Pandemi
Sebuah halte beratap putih menyapa malam perjalanan pulang
Sudah beberapa bulan tak ada kawan menunggu bersama di sini
Bintang, adakah bulan punya rindu pada sepenggal aspal ini?
Awan, sampaikan salam pada dia
Biarlah waktu menjadi puisi yang tak rumit
Tanpa tanda tanya
Karena duka terlalu banyak sudah yang tak berjawab
Juli 2021
Bulan gelap
Toa empat lima masjid serak berlomba inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
Kabar duka melebihi yang lima waktu
Hari-hari gelap
Kematian bertubi-tubi
Tanpa satu jua upacara pemakaman
Yang pergi berplastik sepi
Yang ditinggal, bersama ngeri
Silaturahim akankah menepi
Take a Beer
Aku adalah pejalan
Melewati jejak
Lewat setapak
Melihat orang-orang jadi dewa
Bawa-bawa surg di pundak
Ragu
Aku ingin tanya
Luaskah surgamu?