TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Venddriq Leonardo dan Rizky Juniansyah, mungkin, tak membayangkan namanya kini dielu-elukan warga bangsa Indonesia. Melampaui Tom Haye, Raffael Struick, Jay Idzes. Lantaran, sejak persiapan, perhatian persiapan ke Olimpiade Paris 2024 kalah dibanding kepada pesepakbola [yang gagal ke Omlimpiade] atau pebulutangkis di Tanah Air.
Tapi, hasil yang diberikan, justru jauh lebih besar dibanding yang diberikan para pesepakbola dan pebulutangkis.
Suasana suka cita kini mewarnai jagad olah raga di Tanah Air. Dua medali emas, yang dinanti-nanti, akhirnya datang. Kamis (8/8), Indonesia meraih dua medali emas dari cabang panjat tebing speed putra lewat Venddriq Leonardo dan Rizky Juniansyah dari cabang angkat besi.
Ini kali kedua Indonesia meraih dua medali emas di Olimpiade. Pertama pada Olimpiade Barcelona, Spanyol 1992 melalui Alan Budikusuma dan Susi Susanti setelah menjuarai tunggal putra-putri bulutangkis.
Sukses kali ini merupakan babak baru dalam tradisi emas Indonesia di pesta multi cabang olahraga terbesar di dunia. Untuk pertama kali Indonesia meraih medali emas bukan dari cabang olah raga yang kerap menyumbang medali emas, bulutangkis. Kali ini, untuk pertama kali pula, dari cabang panjat tebing dan angkat besi.
“Ya saya sangat senang, saya sangat mengapresiasi perolehan emas dari Veddriq Leonardo dan Rizki Juniansyah. Saya kira negara mengapresiasi, rakyat juga sanggat bangga terhadap capaian emas ini,” kata Presiden Joko Widodo [Jokowi] di Balai Sidang Jakarta (JCC), Jakarta, Jumat (9/8). “Nanti dibicarakan, yang jelas pasti ada bonus,” katanya.
BACA JUGA: Olimpiade Paris 2024: Indonesia Boyong Dua Emas Dan Rekor Dunia
Sukses dua emas ini sekaligus pelajaran berharga bagi para pembina olahraga di Indonesia. Bisa juga menjadi tamparan bagi para pembina olahraga. Mereka harusnya tersadar, potensi meraup emas di Olimpiade, tidak hanya milik cabang olahraga tertentu.
Selama persiapan didukung dan dilakukan secara proporsional, baik dan profesional, olahraga sekelas panjat tebing yang selama ini nyaris kurang mendapat perhatian, ternyata mampu menorehkan tinta emas di Olimpiade.
‘Menganaktirikan’ pembinaan atlet cabang olahraga hanya karena kalah populeritas semata –sebutlah dibanding sepak bola dan bulutangkis– harus segera ditinggalkan. Diakhiri. Dalam pembinaan menuju prestasi dunia, semua atlet –yang sama-sama mempunyai potensi mengharumkan nama bangsa dan negara– harus diletakkan pada porsi yang setara. Sukses Veddriq dan Rizki menjadi pukulan atau tamparan bagi pembina olahraga yang doyan pilih-pilih kasih. Itupun kalau menyadari.
Sukses panjat tebing dan angkat besi, sekaligus, menjadi bukti cabang yang populer tak selamanya menjadi tambang emas. Sepak bola, sekadar contoh, dengan tingkat populeritas tertinggi dan kerap mendapat tempat terbaik dalam perhatian di negeri ini, ternyata tidak bisa memberikan apa-apa di Olimpiade. Bahkan lolos saja tidak.
Tiga pengajar di National Chung Hsing University, Taichung, Taiwan dalam tulisan berjudul Theorizing the Role of Sport in State-Politics menulis: Saat ini, olahraga dan politik masih saling terkait erat dan sering kali berfungsi untuk menunjukkan supremasi sosial, ekonomi, atau politik atas negara lain.
“Olahraga menyediakan sumber daya yang dapat digunakan secara politis; olahraga dapat mendorong pembangunan bangsa dan pembentukan citra internasional,” ujar mereka.
BACA JUGA: Final Sepak Bola Olimpiade 2024: Prancis dan Spanyol Saling Ancam-Live
Membangun olahraga tidak hanya menghasilkan prestasi. Kata B.Houlihan, (1994) dalam tulisan Sport and International Politics. “Olahraga adalah cerminan masyarakat dan karenanya merupakan refleksi yang cukup akurat dari ideologi yang berlaku di suatu negara tertentu pada waktu tertentu”.
Terlebih dilakukan secara industri, seperti China, mampu melahirkan efek positif lainnya. Gao Zhidan, direktur Administrasi Umum Olahraga China, menunjukkan serangkaian acara olahraga yang melibatkan orang-orang dari semua lapisan masyarakat telah diluncurkan di seluruh China tahun lalu.
“Acara olahraga nonpemerintah seperti Village Super League dan Village Basketball Association mendapat perhatian luar biasa dari kalangan non-olahraga,” kata Gao. “Lebih banyak acara tenis meja diadakan di taman dan komunitas, yang memperkaya akses masyarakat terhadap peralatan olahraga.” Di matanya, perkembangan ini berarti China sedang dalam perjalanan untuk tumbuh menjadi kekuatan olahraga utama.
Tidak dari sisi prestasi semata. Menurut Gao, industri olahraga [China] telah tumbuh 15,4 persen per tahun sejak tahun 2012. Nilai totalnya mencapai 3,3 triliun yuan (sekitar 459,3 miliar dolar AS) pada tahun 2022, dengan peningkatan sebesar 1,3 triliun yuan (sekitar 180,9 miliar dolar AS).
Kita layak mencontoh China, meski belum mampu sepenuhnya karena alasan anggaran negara. Tapi, pengalaman dan komitmen mereka layak diteladani. Di China, olahraga semakin populer. Di mana pemerintah berinvestasi besar dalam beberapa dekade terakhir untuk menjadi kekuatan dunia dalam Olimpiade dan olahraga lainnya.
Di China, Administrasi Umum Olahraga (GAS) berada langsung di bawah Pemerintah Pusat dan merupakan badan pemerintah yang bertanggung jawab atas kebijakan olahraga. GAS merupakan bagian dari hierarki terpusat dari atas ke bawah yang mencakup Komite Olimpiade China dan Federasi Olahraga Seluruh China.
GAS dipandu oleh Rencana Lima Tahun ke-14 untuk Pengembangan Olahraga (2021-2025), yang berupaya membangun China menjadi kekuatan olahraga global. Pada tahun 2023, pemerintah akan menghabiskan ¥23,3 miliar (3,2 miliar dolar AS) untuk olahraga.
GAS mengawasi 20 pusat manajemen olahraga (termasuk federasi olahraga), Biro Pelatihan Nasional dan tim nasional, dan Komisi Olahraga Provinsi, yang mencakup Akademi Olahraga Provinsi atau sekolah olahraga paruh waktu.
Strategi Olahraga Olimpiade adalah untuk merekayasa juara, dan keberhasilan olahraga elit adalah prioritas utama dalam pemerintahan China. Untuk menghindari penyalahgunaan uang, meningkatkan efisiensi pendanaan, dan memaksimalkan produktivitas medali Olimpiade China. Mereka memprioritaskan olahraga yang terutama berbasis keterampilan dan disiplin olahraga “kecil, cepat, wanita, air, dan tangkas” yang secara historis kurang kompetitif secara global.