TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Beberapa waktu lalu, seorang sahabat yang galau bercerita soal kuliner dan cita rasa. “Selera lidah kita dan anak-anak kita sudah berbeda. Jauh…” Saat membawa kedua anaknya ke mal di kawasan Kelapa Gading, dia gagal mewujudkan keinginan dirinya untuk makan bersama keluarga di kedai kuliner lokal.
“Gua mau biasain mereka dengan makanan lokal. Soto Bogor, misalnya,” katanya. Tapi, kini, impian itu menjadi sesuatu yang sulit untuk diwujudkan. “Budaya kuliner kita telah beranjak. Ekstrimnya, berubah.”
Mereka [anak-anak saat ini], kini, cenderung melirik makanan ‘impor’ seperti dari Jepang, Korea atau Italia. “Pizza, Pak.” Begitu permintaan anaknya dengan enteng saat mereka memasuki mall itu. Tak ada tawar menawar. “Bapak engga gaul nih…” Itu jawaban yang dia terima saat sahabat itu menawarkan kuliner alternatif. “Soto Bogor aja, Nak. Enak loh…”
Mungkin, situasi itu, menjadi fakta yang memunculkan rasa khawatir dari sejumlah kalangan. “Sekarang ini banyak kuliner dari negara lain masuk dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Kondisi ini dikhawatirkan bisa menggeser konsumsi kuliner Nusantara,” kata Ketua Panitia Rakernas ICA 2020 Chef I Made Witara dalam keterangannya belum lama ini.
“Jika produk Anda membawa perubahan budaya yang lebih besar, hal ini memerlukan waktu, tetapi ketika periode perlawanan tersebut berakhir, Anda akan mampu mencapai tingkatan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya seperti yang dicapai Amazon.” – Pooja Agnihotri, 17 Alasan Mengapa Bisnis Gagal: Lepaskan Diri Anda Dari Kegagalan Bisnis.
****
- BACA JUGA: Jadi Google Doodle, SIMAK 6 Kuliner Lezat Khas Danau Toba, Ada Mie Gomak dan Sashimi Ala Batak
- BACA JUGA: 6 Rekomendasi Kuliner Legendaris Khas Madura yang Sedap dan Mantap
Jujur, secara pribadi, rasanya engga ‘lokal’ banget. Tapi, sudah sejak lama, aku kerap terusik juga oleh rasa ingin mencoba. Mungkin karena sudah sejak lama dinaturalisasi oleh penduduk lokal di Tanah Air seakan itu pun penganan dimari [Indonesia]. Tapi, entah kenapa, selalu gagap untuk memulai. “Ah, kayaknya engga nendang…” Begitu istilahku.
Tak dinyana, seperti kata pepatah klasik–pucuk dicinta ulam pun tiba– sore-sore atau jelang malam, mungkin, karena disergap udara dingin, saat melintas di depan kedai makanan impor di satu kota nun jauh di sana, bocah teriak tanpa sungkan. “Ah, makan pizza yuk…”
Kalimat itu serasa atau seperti mengulang kisah beberapa waktu lalu dalam sebuah novel. “Di malam hari kami terkadang pergi makan pizza di stanze di largo della Carità,” kata Francesco De Sanctis, sastrawan Italia, di buku Pemuda Francesco de Sanctis; fragmen otobiografi yang diterbitkan oleh Pasquale Villari.
Sejatinya, dari lubuk hati paling dalam, aku lebih ingin makan sate kambing plus gulai kambing atau mencari lapo. Tapi, apa daya, seperti kata pepatah, mendung tak berarti selalu hujan akan turun. Dengan berat hati, demi gelar ayah yang budiman, mobil berbelok ke kedai pizza.
Pizza adalah hidangan tradisional Italia yang biasanya terdiri dari adonan berbahan dasar gandum beragi yang di atasnya diberi tomat, keju, dan bahan lainnya, dipanggang pada suhu tinggi, secara tradisional dalam oven berbahan bakar kayu.
Istilah pizza pertama kali tercatat pada tahun 997 M, dalam sebuah manuskrip Latin dari kota Gaeta di Italia selatan, di Lazio, di perbatasan dengan Campania. Raffaele Esposito sering dikreditkan karena menciptakan pizza modern di Naples. Pada tahun 2009, pizza Neapolitan terdaftar di Uni Eropa sebagai hidangan tradisional yang dijamin khusus (TSG). Pada tahun 2017, seni membuat pizza Neapolitan ditambahkan ke daftar warisan budaya takbenda UNESCO.
Ada spekulasi luas, mengutip pubblicoitalianeatery.com, pizza berasal dari kata Yunani “pitta,” yang berarti “pie”; namun beberapa sejarawan percaya bahwa pizza berasal dari kata Langobardic “bizzo,” yang berarti “menggigit.” Teks Latin yang berasal dari Italia tahun 977 telah dimasukkan ke dalam kamus Italia-Inggris tahun 1598 sebagai “wafer atau kue kecil”.
Karena sudah lapar, penganan yang sejarahnya dimulai pada zaman kuno, ketika berbagai budaya kuno menghasilkan roti pipih dengan beberapa topping, saya sikat. Tandas.
Ternyata, pizza, makanan itu –yang sejarah awalnya diperebutkan Italia dan Amerika Serikat—sudah ‘menginvasi’ Indonesia sejak era Soeharto. Presiden kedua Indonesia. Tapi, datangnya, bukan dari Italia, negara ‘asalnya’.
Melainkan dari Amerika Serikat, yang versi AS, konon dikenalkan oleh 90% orang keturunan Italia-Anerika.
Saya jadi teringat motto ini: “Tidak ada seorang pun yang sempurna, kecuali pizza.” Tapi, yang lebih dahsyat, kini kabarnya, kuliner itu telah menjelma menjadi makanan alternatif bagi warga bangsa Indonesia. Saya geleng-geleng kepala. “Ternyata bangsa ini sudah sejak lama gandrung naturalusasi…”