TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Mei 1998 adalah peristiwa kerusuhan massa, demonstrasi anti-pemerintah, dan pembangkangan sipil di Indonesia pada bulan Mei 1998. Peristiwa ini terutama terjadi di kota Medan, Jakarta, dan Surakarta, dengan insiden-insiden kecil di wilayah lain di Indonesia.
Kerusuhan tersebut dipicu oleh korupsi, masalah ekonomi, termasuk kekurangan pangan dan pengangguran massal. Kerusuhan ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Terkait dengan itu, Tentangkita.co, akan mencoba untuk kembali membuka lembaran hitam sejarah Indonesia itu dalam tiga tulisan mulai hari Minggu (26/5) dengan mengutip pernyataan Menhan dan Pangab saat itu, Jenderal (purn) Wiranto. Itu diungkapkannya dalam sebuah acara bedah buku terkait peristiwa Mei 1998, pada 23 Mei 2023 di Jakarta.
*****
- BACA JUGA: KERUSUHAN MEI 1998 (1): Tawar Menawar ABRI vs DPR, Soeharto Mundur
- BACA JUGA: G 30 September 1965: AS, Soeharto dan TNI-AD Di Balik Peristiwa Itu
“Saya mencoba untuk sedikit mengelaborasi khusus [peristiwa] tahun 1997 dan 1998. Saya akan coba mencari beberapa hal yang merupakan substansi dari peristiwa itu,” kata Wiranto.
Pada saat 1998 kita menghadapi satu peristiwa yang sangat serius. TNI waktu itu ABRI. Berarti TNI plus Polri. “Waktu itu, saya, memang ditakdirkan untuk ada pada situasi seperti itu sebagai Menteri Pertahanan Keamanan merangkap panglima ABRI berarti saya mengomandoi TNI dan polisi dan memang begitu.”
“Jadi Pak Harto sebagai presiden selalu [begitu]. Kalau keadaan sudah agak kritis beliau menyatukan dua lembaga itu. Misalnya tahun 1972, itu disatukan di bawah pimpinan Pak [Jenderal] M. Yusuf. M. Yusuf Menhankam Pangab. Waktu itu juga dipisah lagi karena sudah aman. Begitu menjelang 98, beliau satukan lagi karena keadaan memang sangat kritis dan barangkali ke depan enggak akan ada lagi karena memang ABRI sudah menjadi TNI dan polisi sudah terpisah begitu.”
Waktu itu, kata Wiranto, dirinya merasakan kondisi sangat mencekam. “Mengapa demikian, karena kami prajurit TNI itu disumpah untuk selalu membela negara. Kami disumpah untuk katakanlah mengamankan ideologi negara dan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi kita ke sana. Orientasi kita mengamankan negara yang berdasarkan tadi [Pancasila dan UUD 1945].”
Negara itu, menurut kamus yang saya baca, empat unsurnya. Di sana ada wilayah, penduduk, pemerintah dan diakui negara lain. “Wilayah bukan negara kalau enggak ada penduduknya. Ada rakyatnya belum sah kalau tidak ada pemerintahnya. Harus ada pemerintah yang sah dan diakui oleh negara lain. Dengan empat unsur itu sehingga ada negara.”
“Saat itu, dua dari unsur itu sedang berkelahi. Sedang enggak cocok. Sedang berkonflik antara si rakyat yang ingin perubahan, reformasi dan si pemerintah yang mempertahankan posisi pemerintah untuk tidak ada perubahan Orde Baru.”
Lalu bagaimana TNI? “Ya waktu itu, memang, mau tidak mau kita juga harus menanggung beban. Karena waktu itu para mahasiswa menganggap TNI merupakan salah satu alat dari orde baru untuk mertahankan kekuasaan, tapi tidak seperti itu.”
- BACA JUGA: Surat Terbuka Untuk Presiden Terpilih Prabowo Subianto
- BACA JUGA: Presiden Indonesia Terpilih Prabowo Subianto: Ini Syarat Indonesia Kuat Dan Makmur
“Saya menempatkan TNI betul-betul melihat bahwa kami harus mencoba untuk mengkompromikan kembali konflik antara rakyat dan pemerintah supaya tidak ada korban, tidak ada konflik yang berkepanjangan.”
Contohnya, kata Wiranto, dirinya tidak mau [pasukan ABRI] membersihkan gedung DPR yang dikuasai mahasiswa hanya agar DPR bisa bersidang. Sebab, kalau waktu itu gedung DPR kita bersihkan, kata Wiranto bercerita,banyak orban.
“Saya bertanya kepada Mayjen (purn) Zacky Anwar Makarim –saat itu Kepala Badan Intelijen ABRI– berapa perkiraan korban mahasiswa kalau gedung DPR yang dikuasai mahasiswa kita bersihkan. Sekitar 200 sampai 250 orang.”
Untuk itu, kata dia, ABRI memilih yang terbaik. “Kami melakukan suatu proses reformasi internal ABRI dulu.Polisi saya pisahkan. Saya keluarkan menjadi lembaga yang mandiri. Kemudian ABRI tinggal tanpa polisi menjadi TNI [Tentara Nasional Indonesia] itu bagian dari reformasi internal ABRI waktu itu.”
Kemudian mengurangi jumlah perwakilan, yang tidak dipilih, di DPR, di MPR. Sehingga dari 75 menjadi, kalau enggak salah, 35 waktu itu dan akhirnya habis. “Enggak apa-apa silakan ya.”
“Dan kami kemudian menempatkan ABRI atau TNI menjadi bagian dari pemerintahan sipil. Ada 14 langkah sebenarnya. Itu untuk meyakinkan bahwa TNI atau ABRI betul-betul tidak berpihak kepada siapapun. Tidak membela siapapun, tapi justru ingin mengkompromikan, mendamaikan yang berkonflik antara dua unsur negara tadi.”
“Tugas ini tidak ringan. Sangat berat, karena kita sedang menghadapi kondisi yang memang tidak menguntungkan barangkali. Bagi yang sekarang usianya sudah lewat 40 bisa merasakan saat itu. Adik-adik kita yang di bawah 40, yang masih anak-anak, pasti enggak bisa ikut merasakan situasi 98 yang sangat mencekam luar biasa beratnya untuk operasional.”
“Kemudian, kami pun mengeluarkan suatu konsep untuk melakukan satu pendekatan dengan kaum reformis. Terutama yang dipelopori kaum mahasiswa.”
Pertama, kami persuasif, komunikatif, edukatif, kemudian menghindari kekerasan. “Tidak membawa peluru tajam dan sebagainya. Itu prosedur yang dilaksanakan agar tidak terjadi korban, agar ABRI atau TNI tidak dianggap berhadapan dengan rakyatnya membela pemerintah.”