Oleh : Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)
Menarik membaca hasil Pemilu 2024 dalam model hitung cepat (quick count), orang memilih PDI Perjuangan tak memilih Ganjar Pranowo, orang pilih Prabowo Subianto tak memilih Partai Gerindra. Aspirasi partai tak sebangun dengan pilihan aspirasi tokoh yang disodorkan partai untuk dimenangkan dalam Pencalonan Presiden.
Dari fenomena ini bisa kita simpulkan juga bahwa demokrasi tidak dihidupi oleh konstituen partai. Partai gagal sebagai rumah bersama dalam membangun kesadaran ideologis anggotanya untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
Kondisi tersebut juga mengabarkan kepada kita bahwa kualitas demokrasi kita begitu sangat rapuh dan mudah disabotase oleh kepentingan elit siapapun. Partai yang ada hanya lahirkan kader kelas parasit, yang semakin berurat berakar di dalam sistem demokrasi politik ultra liberal saat ini. Ibarat cangkang bekicot, partai itu rumah sementara yang mudah ditinggalkan oleh anggota dan kadernya demi penuhi hasrat kekuasaan semata mata.
Fenomena yang terjadi juga gambarkan bahwa demokrasi dalam tubuh partai sejatinya telah mati, atau setidaknya mengalami degradasi moral dari kader dan anggotanya. Partai politik sebagai rumah persemaian kepentingan ideologi dan mendidik karakter anggotanya untuk menginsafi tanggungjawab pribadinya dalam turut memikul tanggungjawab persoalan kenegaraan dan kebangsaan telah gagal.
Memang, fenomena di atas tak hadir begitu saja, krisisnya sudah sangat mendasar. Krisis ideologi sudah terjadi di partai politik sejak lama, lalu merembet jadi krisis kelembagaan dan akhirnya krisis kepemimpinan. Di dalam sistem demokrasi ultra liberal yang berjalan saat ini, ideologi bagi partai itu tidak lagi dipentingkan.
Dibuang dan diganti dengan perbanyak slogan. Upaya untuk membangun kesadaran anggotanya membangun komitmen ideologis tak lagi dihidupkan. Pendidikan dilaksanakan, tapi hanya dipentingkan untuk memenuhi persyaratan administrasi pencalegakan atau pencalonan sebagai pejabat eksekutif.
Bukan menjadi rahasia lagi, partai partai di Indonesia itu dihidupi oleh sistem oligarkhi dan nepotisme, dan ditambal dengan rekrut banyak kader selebriti. Pemilu sistem terbuka dengan pertimbangan promosi kader semata pada basis politik elektoral telah lahirkan kader selebritis dan menggusur kader dedikatif, militan dan penuh integritas pelan pelan.
Krisis kelembagaan ini akhirnya lahirkan krisis kepemimpinan. Para pemimpin partai kehilangan tanggungjawab ideologisnya untuk perjuangkan aspirasi politik demi kesejahteraan bangsa atau setidaknya umat partainya. Partai yang demikian tak mampu kembangkan partisipasi anggota partainya untuk biayai program politik partai secara mandiri. Mereka akhirnya sibuk mengejar setoran dari kader kadernya yang mendapat jatah portofolio jabatan publik.
Partai bukan lagi jadi alat untuk membangun aspirasi politik anggotanya, menyusun pendapat secara teratur, sebagai tempat belajar rakyat untuk mengambil tanggungjawab kenegaraan dan masyarakat, tapi partai berubah menjadi tujuan dan negara dijadikan sebagai alat. Orang masuk partai bukan didasarkan pada keyakinan, tapi untuk mendapatkan jaminan bagi hidupnya. Diisi oleh para petualang politik dan ekonomi (Hatta, Demokrasi Kita, 1966).
Sistem presidensial murni yang tujuanya adalah untuk membangun sistem pemerintahan kuat yang dibangun dari UUD 1945 Asli telah terkubur. Sejak amandemen UUD 1945 yang keempat telah berubah jadi sistem semi parlementer. Presiden yang dipilih langsung dan disokong oleh koalisi partai tentu harus mempertimbangkan suara partai. Koalisi partai seperti ini oleh Bung Hatta disebut sebagai –koalisi pembagi rezeki–, dimana golongan diutamakan dan rakyat dilupakan (Hatta, Demokrasi Kita, 1966).
Kabinet zaken atau kabinet kerja yang terdiri dari orang orang ahli atau meritokrat yang berkarakter lenyap. Digantikan oleh kabinet coplokan yang dibebani setoran untuk menopang biaya mahal politik elektoral. Anggota kabinet itu akhirnya banyak yang terperosok kedalam kubang korupsi. Mereka yang tidak memiliki dasar keahlian di bidangnya itu melangkah tanpa kepercayaan diri dan gontai. Mereka yang hanya peduli pada kekuasaan itu habis habisan pertaruhkan moralnya dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kebijakan yang dibuat akhirnya bukan untuk memperkuat kesejahteraan rakyat. Kebijakan dibuat untuk memberikan hak istimewa pada kepentingan kaum plutoktat atau elit kaya. Apa yang baik untuk kepentingan mereka adalah dianggap baik untuk kepentingan rakyat. Rakyat digusur untuk membangun sebuah proyek tambang dan industri tanpa didengar aspirasinya dan dilibatkan untuk turut mengendalikan. Kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan hidup rakyat semua tak lagi jadi bahan pertimbangan. Rakyat dijadikan korban importasi produk dari luar negeri yang penting bisa menambah pundi pundi ekonomi elit dan biayai upaya pertahankan kekuasaan.
Demokrasi Sosial
Demokrasi ultra liberal model demokrasi Anglo Amerika yang memisahkan kepentingan poltik dan ekonomi rakyat dengan asas individualisme yang kita terapkan saat ini sesungguhnya tidaklah sesuai dengan tujuan Konstitusi kita dan amanat pendiri bangsa. Kita lupa akan akar demokrasi yang kita bangun itu lahir dari rahim kemiskinan dan penderitaan rakyat akibat sistem kolonialisme dan kapitalisme serta imperialisme, bukan semata pertentangan atas kelas dengan problem domestik antara proletar dan borjuis seperti yang terjadi di Eropa Barat.
Demokrasi kita adalah demokrasi sosial, demokrasi yang dibangun di atas kepentingan seluruh rakyat baik itu meliputi soal kemerdekaan hak politik dan kebebasan dalam menyampaikan aspirasi dan ekspresi, tapi juga menyangkut soal faktor yang menentukan hidup mati keseharian rakyat, soal ekonomi. Demokrasi kita adalah demokrasi musyawarah mufakat yang harus mendiskusikan kepentingan persoalan rakyat dan kepentingan bersama secara terbuka penuh partisipasi rakyat melalui kelembagaan kelembagaan kolektif demokratis rakyat seperti koperasi, serikat pekerja, dan organisasi sosial ekonomi politik lainya.
Hingga saat ini, kesenjangan sosial ekonomi yang kita warisi sejak jaman Kolonial Belanda masih tetap langgeng. Struktur ekonomi dualistik yang dilihat oleh J.H Booke pada masa pemerintahan kolonial masih tetap berurat berakar kuat. Rakyat dewasa Indonesia, mata pencaharianya sehari hari masih dalam posisi gurem dan subsisten.
Dari total pelaku ekonomi kita, kurang lebih 64 jutanya atau 99,6 persen dari total pelaku ekonomi kita adalah pelaku usaha mikro (Kemenkop dan UKM, 2023) yang berupa usaha usaha kuliner rumahan, dagang baju dan aksesoris import, buruh tani dan petani gurem, peternak kecil, nelayan kecil, petambak kecil, yang hidup dalam gencetan mafia kartel dan hidup penuh persaingan ketat dengan saudara dan tetangganya karena ruang hidup mereka semua telah digasak oleh kekuatan pemilik modal besar kapitalis.
Dari 99,6 persen pelaku ekonomi rakyat itu hanya berkontribusi pada kue ekonomi kita sebesar 18 persen. Sebesar 78 persen adalah pelaku usaha menengah adalah dari kontribusi pengusaha menengah dan besar. Dimana pelaku usaha menengahnya adalah terusan dari pengusaha besar.
Bung Hatta padahal mengatakan, tanah adalah dasar kemerdekaan dan kekuasaan, siapa yang hilang tanahnya maka hilang kemerdekaanya dan jadi budak pekarangan tuan tanah (Hatta, 1966). Bung Karno juga mengatakan hati hati dengan apa yang kamu makan, sebab apa yang kamu makan itu menentukan seberapa daulat kamu (Sukarno, 1965). Rakyat jelata yang mengisi bagian besar statistik jumlah pendudukan ini berada dalam kondisi rentan miskin dan miskin akut.
Kesenjangan sosial ekonomi kita saat ini masih ditentukan oleh kepentingan imperalisme dalam wujud hegemoni dari negara global utara yang bercokol kuat gunakan struktur feodalisme yang semakin mengeras bersama birokrasi. Mereka melakukanya untuk menghemat cara berinvestasi dan juga tak menginginkan ekonomi rakyat Indonesia secara luas menjadi mandiri.
Mereka mengambil pilihan dengan melakukan kongkalikong dengan elit politik feodalistik-nepotik. Kondisi kesenjangan yang kita warisi dari sistem kolonialisme saat ini masih utuh, setidaknya ini dapat dilihat dari penguasaan asset nasional kita yang mana 100 juta rakyat dewasa Indonesia itu kekayaannya sama dengan 4 anggota keluarga konglomerat di Indonesia (Oxfam, 2022). Menurut FAO ( 2022) ada 16,2 juta warga yang pergi tidur dengan perut kosong.
Dalam kondisi rakyat yang lemah itu tentu tak mungkin dapat kita harapkan muncul tanggungjawab yang tebal dari rakyat untuk turut mengambil tanggungjawab kebangsaan dan kenegaraan. Demokrasi politik yang saat ini sudah pada tahap ultra liberal tentu juga tak mungkin daapt kita biarkan. Harus ada upaya serius untuk mengembalikanya.
Demokrasi politik minus demokrasi ekonomi mungkin sudah jadi jalan buntu untuk usahakan perubahan, maka rakyat kecil dan lemah yang didukung oleh para intelektuil organik, para scholar-activist yang memiliki moral dan karakter kuat tentu harus mencari jalan lain yang tepat.
Mungkin mundur selangkah dengan tidak harus ikut hiruk pikuk politik dalam politik ultra liberal saat ini, tapi membangun kekuatan kesadaran rakyat di bawah dan sekaligus membangun kekuatan kemandirian sosial ekonomi mereka. Hingga suatu saat bisa jadi palu penting untuk memukul mundur demokrasi selebritas yang tentu tidak akan berumur panjang.
Jakarta, 15 Februari 2024