TENTANGKITA.CO, JAKARTA – Orang yang pertama kali shalat Ashar adalah Nabi Yunus. Begitulah yang disampaikan oleh Syaikh Nawawi al Bantani dalam kitabnya Sullam Al Munajah terbitan Al Haramain, Surabaya.
Dalam kitab Sullam Al Munajah itu, Syaikh Nawawi menyebut memang ada peristiwa pada masa lalu seiring dengan pelaksanaan ketentuan shalat lima waktu sebagai ibadah wajib umat Islam.
Nabi Yunus sebagai orang yang pertama kali melaksanakan shalat Ashar, menurut ulama Indonesia yang menjadi rujukan di tingkat dunia pada masanya itu, melakukan ibadah itu tidak lama setelah Allah mengeluarkan dia dari perut ikan.
Dalam kitabnya, Syaikh Nawawi menyebut Allah mengeluarkannya Nabi Yunus dari perut ikan tepat pada waktu Ashar. Saat keluar, tulis Syaikh Nawawi, Nabi Yunus seperti anak burung unggas yang tidak memiliki bulu.
Empat rakaat shalat ashar yang dilaksanakan Nabi Yunus, seperti ditulis dalam artikel di laman Kementerian Agama, kemenag.go.id, sebagai bentuk syukur kepada Allah atas keselamatan dirinya dari empat kegelapan yaitu:
(1) kegelapan dalam isi perut ikan
(2) kegelapan berada di dalam air
(3) kegelapan di malam hari;
(4) kegelapan dalam perut ikan itu sendiri.
Berikut ini cerita dan hikmah yang terkait dengan perintah shalat Ashar menurut Syaikh Nawawi Al Bantani seperti dilansir laman Kementerian Agama, kemenag.go.id.
BACA JUGA: Tata Cara, Niat, dan Syarat Shalat Qashar: Perjalanan Minimal 82 Kilometer Ya
SHALAT DZUHUR
Dalam kitabnya itu, Syaikh Nawawi juga menulis tentang orang pertama yang melaksanakan shalat dzuhur yaitu Nabi Ibrahim.
Kisah tersebut bermula ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail.
Singkat cerita, Nabi Ismail diganti dengan seekor domba dari surga yang dibawa oleh malaikat Jibril. Kisah ini terjadi tepat ketika tergelincirnya matahari di waktu dzuhur.
Atas kejadian itu, Nabi Ibrahim kemudian menunaikan shalat sebanyak empat rakaat.
– Rakaat pertama merupakan bentuk rasa syukur Nabi Ibrahiim kepada Allah karena telah mengganti Ismail dengan domba untuk disembelih.
– Rakaat kedua sebagai syukur Nabi Ibrahim atas sirnanya kesedihannya di hati Nabi Ismail anaknya.
– Rakaat ketiga sebagai bentuk permohonan ridha Nabi Ibrahim kepada Allah atas kejadian tersebut
– Rakaat yang keempat sebagai syukur atas karunia nikmat yang telah Allah berikan yaitu berupa domba dari surga.
Syaikh Nawawi menyebut manusia yang pertama kali melaksanakan shalat Subuh adalah Nabi Adam. Kisah ini bermula ketika Allah menurunka Nabi Adam ke Bumi dari surga.
Saat menginjakkan kaki di Bumi, Nabi Adam dihantui rasa takut dan khawatir. Bagaimana tidak. Keadaan Bumi sangat gelap karena tidak ada cahaya sama sekali.
Rasa takut dan khawatir Nabi Adam kemudian pupus ketika terbit fajar dengan membawa sinar yang menerangi Bumi seisinya. Pada saat itulah, Nabi Adam melakukan shalat dua rakaat sebagai bentuk rasa syukur.
Rakaat pertama, menurut Syaikh Nawawi, Nabi Adam bersyukur kepada Allah karena telah diselamatkan dari gelapnya malam tersebut. Rakaat kedua adalah bentur rasa syukur Nabi Adam karena terbitnya fajar yang bisa menerangi bumi dan seisinya.
BACA JUGA: Tata Cara, Niat, Syarat dan Jenis Shalat Jamak: Taqdim dan Takhir
BIOGRAFI SYAIKH NAWAWI
Nama lengkap Syaik Nawawi Al Bantani adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Masbuqil al-Jawwi al-Bantani.
Beliau, seperti ditulis laman NU Online, nu.or.id, lahir di Tanara Tirtayasa Serang Banten pada tahun 1230 H/1813 M dan wafat di Mekkah pada 1314 H/1897 M.
Nama al Bantani digunakan sebagai nisbat untuk membedakan dengan sebutan Imam Nawawi, seorang ulama besar dan produktif dari Nawa Damaskus, yang hidup sekitar abad XIII Masehi.
Ayah Syekh Nawawi adalah seorang penghulu di Tanara, setelah diangkat oleh pemerintah Belanda. Ibunya bernama Zubaidah, penduduk asli Tanara.
Pada masa kecil, Syekh Nawawi dikenal dengan Abu Abdul Muthi. Dia adalah sulung dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah.
Syekh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati Cirebon. Dari garis keturunan ayah, berujung kepada Nabi Muhammad Saw melalui jalur Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, sedangkan dari garis ibu sampai kepada Muhammad Singaraja.
Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Cirebon yang didirikan Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M sedang berada dalam periode terakhir, di ambang keruntuhan.
Syekh Nawawi mulai belajar ilmu agama Islam sejak berusia lima tahun, langsung dari ayahnya. Bersama-sama saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir.
Pada usia delapan tahun, bersama adiknya bernama Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada KH. Sahal, salah satu ulama terkenal di Banten saat itu.
Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu ke Raden H. Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi berangkat pergi ke Arab Saudi.
Di samping untuk melaksanakan ibadah haji, keberangkatan itu penting bagi Syekh Nawawi untuk menimba ilmu. Seperti ulama Al-Jawwi pada umumnya, pada masa-masa awal di Arab Saudi, dia belajar kepada ulama Al-Jawwi lainnya.
BACA JUGA: Arti Kata Tarawih, Istirahat Sejenak
MENGAJAR DI MASJIDI HARAM
Puncak hubungan Indonesia (orang-orang Melayu) dengan Mekkah terjadi pada abad 19 M. Karena, pada saat itu banyak sekali orang Indonesia yang belajar di Mekkah.
Bahkan, tidak sedikit diantara mereka diberi kesempatan mengajar di Masjidil Haram, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfuzh Al-Turmusi asal Tremas Pacitan, Syekh Ahmad Khatib Al-Minankabawi asal Minangkabau, Syekh Muhtaram asal Banyumas, Syekh Bakir asal Banyumas, Syekh Asyari asal Bawean, dan Syekh Abdul Hamid asal Kudus.
Ada sekitar 200 orang yang hadir setiap kali Syekh Nawawi Al-Bantani mengajar di Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram menjadi satu-satunya tempat favorit, semacam kampus favorit dalam istilah sekarang.
Di Tanah Suci. Yang menjadi murid Syekh Nawawi tidak hanya orang Indonesia, namun para pelajar dari berbagai negara. Selama mengajar, Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang guru yang komunikatif, simpatik, mudah dipahami penjelasannya dan sangat mendalam keilmuan yang dimiliki.
Dia mengajar ilmu fiqih, ilmu kalam, tashawuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab. Di antara muridnya di Arab Saudi yang kemudian menjadi tokoh pergerakan setelah kembali ke Tanah Air.
Mereka antara lain KH Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama/NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Abdulkarim Amrullah (Sumatera Barat), Syekhana Chalil (Bangkalan), KH. Asyari (Bawean).
Lalu ada nama KH Tb. Asnawi (Caringin Banten), KH Ilyas (Kragilan Banten), KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Najihun (Tangerang), KH. Abdul Ghaffar (Tirtayasa Serang), KH. Tb. Bakri (Sempur Purwakarta), KH. Dawud (Perak Malaysia) dan sebagainya.
Di samping itu, Syekh Nawawi juga banyak melahirkan murid yang kemudian menjadi pengajar di Masjidil Haram. Di antaranya adalah Sayyid Ali bin Ali al-Habsy, Syekh Abdul Syatar al-Dahlawi, Syekh Abdul Syatar bin Abdul Wahab al-Makki dan sebagainya.
BACA JUGA: Tata Cara Shalat Tahajud: Bacaan Doa dan Niat Lengkap dalam Bahasa Latin
BAPAK KITAB KUNING
Syekh Nawawi lebih banyak dijuluki sebagai Sayyid Ulama al-Hijaz, karena telah mencapai posisi intelektual terkemuka di Timur Tengah, juga menjadi salah satu ulama paling penting yang berperan dalam proses transmisi Islam ke Nusantara.
Pengalaman belajar yang dimiliki cukup untuk menggambarkan bentuk pembelajaran Islam yang telah mapan dalam Al-Jawwi di Mekkah.
Dalam konteks keberadaan pesantren di Indonesia, Syekh Nawawi diakui sebagai salah satu arsitek pesantren, sekaligus namanya tercatat dalam genealogi intelektual tradisi pesantren.
Nama Syekh Nawawi tidak hanya terkenal di daerah Arab Saudi, tetapi juga di Syiria, Mesir, Turki dan Hindustan.
Penguasaan yang mendalam terhadap ilmu agama dan banyaknya kitab karyanya yang sampai sekarang masih menjadi rujukan di mayoritas pesantren di Indonesia, menjadikan nama Syekh Nawawi dijuluki sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Syekh Nawawi adalah ulama Indonesia paling produktif yang bermukim di Haramain. Selama hidup, karya Syekh Nawawi tidak kurang dari 99 buku maupun risalah. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari 115 buah.
Semua tulisan itu membahas berbagai disiplin kajian Islam. Beberapa karyanya yang masih terkenal sampai sekarang adalah Tafsir al- Munir, Nashaihul Ibad, Fathul Shamad al-Alim, al-Tausyikh, Kasyifatus Saja, al- Futuhat al-Madaniyyah, Tanqihul Qawl, Nihayatul Zayn, Targhibul Mustaqin, Hidayatul Azkiya, Madarijul Saud, Bughyatul Awam, Fathul Majid dan sebagainya.
Demikian pembahasan tentang orang yang pertama kali melaksanakan shalat Ashar menurut Syaikh Nawawi al Bantani.