TENTANGKITA.CO– Menjelang akhir tahun seperti Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta beberapa perhelatan akbar seperti Pemilu 2024 menyebabkan beberapa kelangkaan bahan pokok (bapok) karena terjadi lonjakan permintaan pasar.
Sementara untuk salah satu Bapok yakni minyak goreng (Migor) kelangkaan komoditas terjadi tak hanya faktor lonjakan permintaan pasar saja namun juga terjadi karena faktor regulasi dan kebijakan.
Pengamat ekonomi dan juga Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Dr Ir Gulat Manurung MP Rabu 1 November 2023 menegaskan bahwa kelangkaan migor merupakan dampak dari situasi dan kondisi yang memang memaksa terjadi dampak kelangkaan.
Selain masalah permintaan naik seperti hari besar Nataru atau Lebaran yang menyebabkan konsumsi migor tinggi, kelangkaan komoditas juga dipengaruhi faktor terjadi kekesalan para pelaku usaha perkebunan sawit. Kekesalan terjadi karena pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang selalu membuat peraturan yang merugikan petani sawit sebagai produsen bahan baku Migor yakni CPO.
Gulat menegaskan denda yang diterapkan dalam Undang Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) Omnibus Law (OBL) untuk perkebunan sawit di kawasan hutan serta setelah membayar denda tak bisa melakukan replanting atau ditanami kembali membuat petani sawit tak bisa melakukan pembaharuan bahan baku secara berkesinambungan.
“Petani sawit dilarang replanting artinya pemerintah melalui KLHK melakukan pembatasan sementara kebutuhan tinggi, jelas saja stok jadi langka, lalu mau solusi apa?,” beber Gulat.
Dengan larangan replanting imbuh Gulat Indonesia kehilangan potensi 2,7 juta hektar lahan sawit dan kehilangan 10 juta ton CPO bahan baku minyak goreng. Potensi ini karena merupakan 20 persen dari stok bahan baku yang bisa menghasilkan 9.2 juta ton Migor.
“Masalah ini solusinya cukup sederhana KLHK tidak memaksakan diri untuk memasukkan pasal yang ada poin tidak boleh melakukan replanting. Pasal itu dibuang saja. Kalau soal denda saya sepakat asal sesuai aturan penerapannya dan tentu saja masuk akal,” bebernya.
Secara analogi dirinya menghitung Ng 10 juta ton CPO minyak sawit menjadi minyak goreng sebanyak 9,2 ton Migor yang cukup untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia selama 3 tahun.
“Hitungannya satu bulan membutuhkan 300 ribu liter dan 10 bulan sudah 3 juta liter Migor. Kalau mencukupi kebutuhan tersebut tidak boleh replanting maka kita kehilangan potensi 9,2 juta ton Migor ini,” keluhnya.
Gulat justru mempertanyakan apa urgensinya tidak boleh melakukan replanting. Padahal tanaman sawit CPO ini sangat ramah lingkungan. Sawit ini imbuhnya menyerap lebih tinggi karbon dioksida dan menghasilkan oksigen lebih banyak.
Ditegaskannya tahun politik seperti saat ini memang ada pengaruh pada harga dan stok Migor namun pengaruhnya sangat sedikit.
“Hati hati jika sampai masalah ini dipolitisasi supaya terjadi chaos. Ini sangat bisa terjadi,” ungkapnya.
BACA JUGA:Perang Israel vs Hamas: Ini Pernyataan Jokowi dan Sikap Indonesia
Tahun politik imbuhnya berdampak sedikit dengan kasus kelangkaan Migor. Hal ini karena masalah utama ada di regulasi. Secara tegas Gulat menegaskan bahwa kebijakan demikian ini meresahkan kaum petani sawit.
Dalam UU Ciptaker OBL khususnya kaitan pengolahan kawasan hutan diatur bahwa lahan dengan luas 5 hektare penguasaan 5 tahun keatas dilepaskan dari kawasan hutan. Namun kebijakan yang sudah sejak 2020 hingga kini ternyata masih nol hektare lahan yang dilepaskan alias tak ada lahan yang dilepaskan sama sekali.
“Hal ini karena dari KLHK menetapkan persyaratan yang tidak masuk akal sehingga tidak ada yang berhasil melepaskan lahan tersebut. Mengapa KLHK masih saja terus memaksakan ?,” tanya dia lagi.
Dalam aturan disebutkan bahwa setelah pengusaha atau petani terkena denda tidak boleh melakukan replanting sawit.
“Padahal umur produksi sawit 25 tahun, jadi kami hanya bisa panen lima tahun lagi setelah lima tahun diganti dengan tanaman baru. Dengan peraturan ini kami petani sawit disuruh tinggalkan kebunnya. Bagaimana kami bisa hidup?,” tanyanya.
Ditanya mengenai Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 14.000/liter ia menanggapi asal sistem tepat HET sekian tak masalah namun yang terjadi sistem tidak tepat.
“HET Rp 14.000 tidak masalah jika pemerintah melakukan kewajiban mensubsidi sehingga tidak mematikan petani sawit. Tolonglah pemerintah buat petani sawit sejahtera dan stok melimpah sehingga harga di masyarakat stabil berkecukupan,” urainya.
Ia kemudian menerangkan perhitungan HET Migor Rp 14.000/liter kemudian pembelian bahan baku CPO Rp 12.000 kemudian dikurangi biaya produksi dan sebagainya selisih untung perkilogram hanya Rp50.
“Jadi keuntungan petani hanya 50 perak per 1 kilogram bahan baku . Mau punya berhektare lahan sekalipun dengan keuntungan perkilo hanya 50 perak petani sawit tidak akan pernah bisa sejahtera. Kebanyakan mereka bertahan hidup bukan hanya dengan petani sawit tapi peternakan sapi, kambing atau ayam,” keluhnya lagi.
BACA JUGA;Penyaluran Bansos KLJ, KAJ, KPDJ (Juli-Oktober), Kata Pusadatin Sudah Didistribusikan
Untuk win win solution imbuh Gulat ia memberikan usul supaya HET dinaikkan menjadi Rp 16.000/liter namun disubsidi dana sawit Rp2.000/liter sehingga HET yang diterima masyarakat tetap Rp14.000/liter karena ada subsidi.
Dana sawit imbuhnya merupakan dana badan pengelola perkebunan sawit yang merupakan sumbangan stakeholder sawit yang jumlahnya sangat mencukupi kebutuhan subsidi.
Gulat menyatakan apapun beban di hilir yang menanggung adalah hulu, petani perkebunan sawit semakin tertekan. Jika hilir terus ditekan dampaknya menjadi nekat dan tidak semangat, enggan memupuk, memanen dan rentan memicu keributan serta kericuhan di masyarakat karena kelangkaan migor berkepanjangan.
Diakhir pembicaraan Gulat menegaskan anulir UU Ciptaker OBL adalah sebuah keharusan. Untuk melakukan anulir sangat mudah bagi Kementerian dan Presiden tinggal membuat Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (Permen). Adapun pasal yang dianulir khususnya UU Cipta Kerja Omnibus Law (UU OBL) Pasal 110A dan 110B yang membahas mengenai sawit dan kebijakan KLHK yang dinilai merugikan petani sawit.