TENTANGKITA.CO– Merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pemerintah telah mengatur agar keterwakilan perempuan mencapai 30%.
“Selama bertahun-tahun akhirnya angka partisipasi 30% bisa tercapai. Untuk daerah DIY sendiri, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan itu dari tahun ke tahun masih sama ya, berada di dua garis sejajar namun cukup dekat. Artinya, kesetaraan sudah hampir tercapai walaupun belum sempurna. Ini kemudian yang harus lebih didorong,” tutur Erlina Hidayati, S., SIP., Mm, selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta dalam sebuah diskusi.
BACA JUGA:Yuni Shara dan Cak Lontong Kedapatan Naik LRT Bareng, Keren…Kata Yuni
Rendahnya partisipasi perempuan jika dibandingkan laki-laki ini mayoritas disebabkan karena rekonstruksi sosial peran perempuan dalam rumah tangga.
“Ketika wanita yang sudah menikah ini memiliki keinginan untuk meniti karier, maka biasanya akan dihadapkan pada dilema bahwa perannya adalah sebagai ibu rumah tangga. Padahal hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan mendorong peran laki-laki juga dalam rumah tangga. Sehingga harapannya, akan ada lebih banyak perempuan yang berani untuk masuk ke jenjang karier setelah menikah,” ucap Fina Itriyati, M.A., Ph.D, Sosiolog sekaligus Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama, dan Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Atmosfernya masih sangat kurang mendukung, ya. Selain karena hambatan-hambatan yang dialami perempuan karena menikah, memiliki anak, dan lain-lain. Modal untuk menjadi calon legislatif itu tidak murah, belum lagi bagaimana partai memilih dan mempercayakan perempuan untuk menjadi calon legislatif. Kalau dilihat dari media sekarang, masih banyak sentimen-sentimen negatif terkait caleg perempuan,” kata pemerhati politik dari sisi media, Prima Sulitya.
Dukungan lingkungan dan masyarakat yang kurang ini membuat banyak perempuan enggan untuk mencalonkan diri sebagai aktor politik.
Partisipasi politik sejatinya tidak bisa dilihat hanya dari sisi pencalonan politik saja. Elektabilitas, kecenderungan pemilih, dan suara-suara politik dari masyarakat juga mencerminkan sejauh mana partisipasi politik Indonesia.
Menurut Dr. rer. pol. Mada Sukmajati, M.PP, ketua Prodi Sarjana Politik dan Pemerintah, isu ini lebih kompleks jika dianalisis lebih dalam.
“Alasan kenapa calon legislatif perempuan ini masih minim partisipasinya tidak bisa dilihat hanya dari faktor perempuannya saja. Partai politik umumnya pasti akan mencalonkan seseorang yang bisa memiliki elektabilitas tinggi di masyarakat. Saya kira strategi elektoral caleg akan sangat memengaruhi hal tersebut, dan inilah yang perlu didukung sekaligus untuk mendorong masyarakat agar memberikan perhatian juga ke caleg perempuan,” ujarnya.
Hambatan-hambatan tersebut masih mencerminkan bagaimana masyarakat cukup pesimis terhadap calon politik perempuan. Hal ini tentunya perlu didorong agar perempuan mendapat rekognisi dan meningkatkan peran politiknya. Tujuan utama keterlibatan ini nantinya adalah untuk mengedepankan pembangunan yang berbasis kesetaraan gender dan kelompok rentan lainnya.